Novel Zombie Indonesia


2

TOYIB
  
   Kuperhatikan pemandangan sawah dan ladang sepanjang perjalanan dari kaca jendela mobil angkutan umum. Angkutan umum penuh sesak dengan orang-orang yang membawa barang dagangan yang mereka beli dari kota. Sepanjang jalan yang berkelok-kelok dan terkadang melewati rimbunnya hutan kecil daerah perbukitan sebelah barat Ciamis.

   Namaku Toyib Sulaiman, biasa orang memanggilku Toyib saja. Apalagi sejak ada lagu dangdut berjudul Bang Toyib, setidaknya sering menjadi bahan lelucon bagi teman-teman dekatku.

   Aku baru berhenti bekerja sebagai teknisi dari sebuah perusahaan mesin di Jakarta. Hal klasik, selama 3 tahun bekerja statusku masih tetap sebagai karyawan kontrak jika aku melanjutkan di tahun ke 4, padahal undang-undang ketenaga kerjaan melarang seseorang menjadi pegawai kontrak selama 3 tahun, dan harus diangkat sebagai pegawai tetap di tahun berikutnya. Bermasalah, memang karena tidak adanya penegakan hukum yang jelas, sehingga warga negara dipermainkan oleh perusahaan yang tidak mau mengeluarkan uang tunjangan tambahan, jika banyak yang menjadi pegawai tetap.

   Sudahlah soal masalah pribadiku setidaknya perjalanan ini sedikit mengobati sakit hati dan hitung-hitung liburan ke pedesaan. Perjalananku ke daerah pedalaman Ciamis Jawa Barat ini, untuk menyampaikan amanat almarhum nenekku dari pihak Ibu kepada pamanku yang bernama Iqbal. Karena amanat ini menyangkut soal warisan dan ada beberapa hal yang perlu dibicarakan dengan pihak keluarga. Karena, Om Iqbal (begitu aku memanggilnya), tidak hadir pada saat nenek meninggal, bahkan setelah 40 hari. Singkatnya perjalananku ini untuk mencari, serta memaksa Om Iqbal menemui keluarga ke Jakarta. Entah kenapa aku yang dipilih oleh keluarga besar? Penjelasan logisnya, mungkin karena aku satu-satunya yang sedang menganggur sejak keluar kerja.

   Tidak banyak yang aku ketahui mengenai pamanku ini. Seingatku, Om Iqbal hanya bertemu beberapa kali ketika aku masih berada di bangku SD. Jika bertemu berpapasan saat ini, wajahnya pun aku lupa. Keluarga besar memang kehilangan kontak dengan dia selama hampir 18 tahun lebih lamanya, namun katanya terakhir kali Ia mengontak nenek 1 tahun lalu, memberikan alamat rumahnya, serta sebuah nomer telepon handphone yang sulit dihubungi dan seminggu setelahnya sudah tidak aktif lagi.

   "Gebang." suara si sopir memberi tahu aku, ketika mobil angkutan itu berhenti.

   Setelah membayar akupun segera turun. Mobil pun kembali melaju meninggalkan aku yang berdiri menatap pintu masuk desa di seberang jalan. Aku menyeberang jalan.

   Pintu masuk desa berupa sebuah gapura kecil dengan tulisan nama desa di atasnya. Kedua tiang gapura tersebut terbuat dari batu alam yang diukir sedangkan bagian atasnya terbuat dari kayu jati. Tampaknya seorang seniman yang membuatnya sehingga tampak sangat artistik. Tulisan kecil "Seni Rupa ITB 1996" terlihat ketika aku mendekati gapura tersebut. Tampaknya benar dugaanku kalau gapura tersebut adalah buatan para mahasiswa seni yang pernah mengadakan KKN di desa tersebut.

   Jalan raya desa ini terbuat dari aspal kasar. Lebarnya cukup pas kalau untuk dilewati dua mobil. Di kiri jalan tampak tiang-tiang listrik beton berdiri kokoh.

   Menyusuri jalan desa yang rimbun oleh pepohonan, dan berbagai macam tumbuhan yang terdapat di halaman rumah penduduk desa. Rumah-rumah di desa ini tidak saling berdekatan, dan semuanya memiliki tanah yang luas. Rumah-rumahnya pun bervariasi ada yang terbuat dari tembok permanen, namun ada juga yang masih terbuat dari kayu. Namun rumah kayu tersebut tidak terlihat jelek, rapi dan terlihat sangat kokoh. Pagar hidup yang terbuat dari pepohonan terlihat tidak terawat dan membatasi setiap rumah, tidak ada pagar permanen di rumah-rumah tersebut.

   Herannya pintu-pintu rumah itu tertutup. Rumah-rumah di sepanjang jalan desa ini tampak seperti tidak ada kehidupan, bahkan halamannya pun tampak seperti tidak terawat. Tidak kujumpai satupun warga yang berada di depan rumah, atau di pinggir jalan. Akupun bingung hendak bertanya kepada siapa.

   Kuteruskan perjalanan melewati beberapa rumah, Aku tiba di Balai Desa. Balai Desa sebuah gedung tunggal tidak bertingkat, dengan halaman yang luas dengan tiang bendera di tengahnya. Di halaman, tampak sebuah mobil sedan di parkir di depan pintu, dan terdapat beberapa sepeda motor di parkir di samping gedung. Di pintu masuk gedung bercat hijau muda itu terdapat papan pengumuman.

   Memasuki gedung tersebut terasa sunyi. Berbeda dengan kelurahan atau balai desa di pinggiran Jakarta. Aku memasuki ruangan pertama yang diatasnya tertulis: "Administrasi Desa". Terdapat 3 buah meja di ruang kecil itu dan lemari besar berisi file. Seorang wanita setengah baya berjilbab, dan seorang pria setengah baya berkaca mata duduk di ruangan tersebut. Aku berjalan menghampiri pria yang di depan mejanya tertulis: ‘Sekretaris Desa.’

   "Ada perlu apa Kang?" Tanya lelaki itu.

   "Maaf Pak, saya mau tanya." Jawabku.

  "Silahkan duduk dulu. Panggil saja saya Kang Ijal." Pria mempersilahkanku sambil menunjuk kursi di depannya. "Kamu baru datang dari mana?"

   "Dari Jakarta Kang. Saya Toyib." kataku memperkenalkan diri, sambil menarik kursi dan duduk.

   "Saya sedang mencari paman saya bernama Iqbal, ini alamatnya." kataku melanjutkan, sambil merogoh kantong celana jeans, kemudian menyerahkan kertas berisi alamat.

   Kang Ijal mengambil kertas tersebut dari tanganku. Membacanya dan mengembalikannya lagi kepadaku.

   "Oh, pak Iqbal Setiawan. Rumahnya agak jauh masuk ke dalam dari sini. Saya tau orangnya. Tapi bukannya beliau sudah meninggal setahun lalu?" Kata Ijal sambil membetulkan kacamatanya.

   "Hah, meninggal?" aku kaget.

   "Lho, kamu keluarganya kok tidak tahu?" tanya Ijal. Wajah pria itu terlihat mulai heran.

   "Jadi begini ceritanya, setahun lalu Om Iqbal ini menghubungi nenek saya, setelah 18 tahun tidak bertemu melalui telepon. Kemudian, ia hanya meninggalkan catatan alamat dan nomor telepon yang sudah tidak bisa dihubungi lagi." Aku menjelaskan.

   "Ya sudah meninggal mana bisa dihubungi lagi." Ijal memotong sambil tertawa kecil.

   Aku tahu maksudnya orang ini bercanda tapi walaupun begitu tidak etis memotong pembicaraan, apalagi sebagai seorang pegawai pemerintahan yang bertugas melayani rakyat.

Aku menarik napas kemudian melanjutkan. "Jadi nenek saya baru meninggal."

   "Oh, saya turut berduka cita." Ijal memotong lagi.

   "Terima kasih Pak. Maksud kedatangan saya kesini untuk mencari Om Iqbal berhubungan dengan wasiat nenek." Aku meneruskan pembicaraan yang terpotong.

   "Oh begitu, bersangkutan dengan pembagian harta ya?" Ijal tiba-tiba antusias.

   "Ada juga sih. kataku.

   Tapi lebih banyak ada persoalan keluarga yang tidak bisa saya ceritakan." Ujarku melanjutkan.

   "Beliau sudah meninggal, tapi Pak Iqbal masih punya istri yang masih tinggal di sini." kang Ijal menjelaskan. "Kalau mau bertemu nanti biar saya suruh orang antar kamu ke sana."

   "Terima kasih Pak, mungkin saya bisa menyampaikan pesan kepada keluarganya." kataku.

   Setidaknya perjalananku ke desa ini tidak sia-sia. Walau tidak sempat bertemu dengan pamanku, setidaknya aku tahu kalau paman ternyata masih memiliki keluarga di desa ini. Sehingga berita ini bisa kusampaikan kepada keluarga besar, kalau kelak nanti bagian warisan untuk pamanku bisa saja jatuh ke istrinya atau mungkin anaknya.

   "Ayo ikut saya!" Kata Ijal sambil berdiri dari kursinya.

   Aku berjalan mengikuti kang Ijal meninggalkan ruangannya. Menuju ke ruangan seberangnya yang bertuliskan : 'Seksi Keamanan'. Pintu dibuka dan tampaklah ruang kecil dengan empat buah meja di depannya. Selain itu isi ruangan itu ada lemari kecil, televisi, peta desa berukuran besar terpampang di tembok sama seperti yang kulihat di ruangan kang Ijal. Dua orang hansip, seorang polisi gemuk dan seorang wanita berambut pendek sebahu, mereka sedang duduk mengobrol ketika kami masuk.

   Aku sempat beradu pandang dengan wanita berwajah manis yang memiliki tatapan mata yang tajam menusuk penuh selidik.

   "Kang Irdi, saya mau minta tolong." Kata Ijal.

   Seorang hansip tua yang sedang berdiri menengok ke arah kami. Tubuhnya kurus dan wajahnya keriput menandakan sudah sekitar berumur 60 tahun.

   "Iya kang Ijal." kata hansip yang dipanggil Irdi itu menghampiri.

   "Bapak ini minta diantarkan ke rumah pak Iqbal." Kata Ijal.

   "Oh baik, Ayo Pak, siapa namanya?" kata Irdi sambil menjulurkan tangan menyalami.

Kusambut salamannya sambil memperkenalkan diri. "Toyib." kataku.

****

   Menyusuri jalan desa dengan aspal kasar, menaiki motor bebek tua milik Kang Irdi, membuat pikiranku terasa fresh dan segar kembali. Hijaunya pepohonan dan hamparan sawah, serta perkebunan di kiri-kanan menambah kerimbunan desa tersebut. Udaranya pun segar terasa sampai ke paru-paru. Mungkin, inilah salah satu alasan Om Iqbal pindah ke desa terpencil ini.

   Sepanjang perjalanan kami, Kang Irdi menceritakan mengenai desa Gebang. Kelurahan kecil di tepi bukit, di kaki gunung Sawal. Penduduknya pun sedikit jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.

   Jalanan yang kami lalui terlihat sepi. Namun, dari kejauhan, kulihat orang-orang mondar mandir di area persawahan yang menguning. Mungkin saja penduduk desa kecil ini sedang sibuk di sawah sepanjang hari ini.

   Kang Irdi menceritakan tentang kecantikan istri pamanku yang terkenal sebagai penari Ronggeng. Ronggeng adalah sebuah kesenian tradisional masyarakat Jawa barat yang sudah jarang dipentaskan, namun akhir-akhir ini menjadi sangat terkenal berkat keluwesan gerak tarian istri pamanku. Walaupun banyak omongan negatif seputar istri pamanku, namun kang Irdi lebih banyak memuji kecantikan istri pamanku yang pandai menari.

   Kami tiba di depan sebuah rumah besar berpagar hitam besar, yang terbuat dari besi, yang jauh dari perumahan penduduk di sekitarnya. Di depan kami terlihat jalan aspal habis di batasi dengan jalan tanah, dengan sawah terbentang di kiri dan kanan.

   Aku takjub, karena ternyata ada rumah sebesar ini di tengah pedesaan terpencil ini. Rumah besar dengan halaman luas ditanami berbagai macam tanaman kebun yang terawat dengan baik. Rumah yang walaupun terlihat kuno bentuknya, tapi cat-nya terlihat cerah sehingga menyingkirkan kesan angker.

   "Ini rumahnya. Dari jaman pak Karno* (*Soekarno, Presiden petama RI), sampai jaman pak Harto* (*Suharto, Presiden kedua RI) dulu masih ada orang bule dari Belanda yang tinggal di sini." kata kang Irdi.

   "Sekarang bulenya kemana?" Aku berdiri di depan pagar mencari bel.

   "Pulang ke Belanda. Kemudian tidak lama ditempati pak Iqbal." kang Irdi memarkir motornya.

   Tidak ada bel. Kulihat pintu pagar tidak di gembok, Kubuka pintu pagar. Kang Irdi mengikutiku dengan langkah tegap dibuat-buat. Mungkin saja, ia mau menarik perhatian tante ku yang dikaguminya yang diceritakan sepanjang jalan. Aku pun jadi ikut penasaran, karena belum sekalipun aku bertemu keluarga paman Iqbal.

   Kuraih handle besi besar yang biasa digunakan untuk mengetuk pintu, ketika kami tiba di pintu depan rumah itu. Kuketuk dengan kencang beberapa kali. Tidak lama terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah mendekati pintu.

   "Siapa ya?" terdengar suara dari dalam.

   "Kang Irdi dari kelurahan ini." kang Irdi menyahut dengan logat sundanya yang kental.

   Pintu terbuka dan sesosok wanita cantik mengenakan daster batik bercorak coklat-hitam keluar dari balik pintu. Rambut wanita itu panjang sepunggungnya. Kulitnya putih halus gemerlapan ditimpa cahaya matahari sore. Sempat aku terpana melihat kecantikan paras wajah wanita tersebut.

   "Ini Neng ada tamu. Katanya saudara Pak Iqbal." tukas Irdi.

   "Saya Toyib." kataku menjulurkan tangan, memperkenalkan diri.

Perempuan itu menyalamiku. Terasa kulit telapak tangannya yang halus.

   "Saya Muti. Ada perlu apa ya?" katanya sambil tersenyum. Senyumnya sungguh menawan.

   "Saya anak dari Bu Mitha dari Jakarta, kakak dari Pak Iqbal. Sebenarnya saya kesini ada pesan dari keluarga besar untuk keluarga pak Iqbal."

   "Tapi pak Iqbal sudah meninggal." kata perempuan itu dengan tatapan heran.

   "Kalau boleh saya ingin menyampaikan mengenai warisan nenek saya, dan beberapa pesan keluarga kepada anda sebagai istri sah Om." kataku sopan.

   Benar juga kata Kang Irdi, kalau paras wajah tanteku ini sangat menggoda laki-laki di dekatnya. Kutebak usia tanteku ini baru sekitar 20 tahun. Sangat muda sekali untuk menjadi istri dari Om Iqbal, yang kalau di taksir mungkin perbedaan usianya sekitar 30-40 tahun. Entah di usia berapa tanteku bernama Muti ini menikah dengan Om Iqbal. Aku penasaran sekali dengan kisah hidup Om yang misterius ini, dan sudah sejauh ini, aku berharap mendapatkan informasi.

   "Baiklah silahkan masuk." kata Muti. "Terima kasih Pak Irdi sudah mengantar keponakan saya. Mohon maaf sebelumnya, Pak. Kayaknya ini akan jadi pembicaraan keluarga jadi mohon maaf."

   "Oh tidak apa-apa, Neng." kata kang Irdi.

   "Kang Toyib, saya tinggal dulu ya. kalau nanti butuh bantuan, saya ada di balai desa. Saya permisi dulu Neng Muti, Kang Toyib."

   "Terima kasih ya Pak Irdi, sampai ketemu kalau ada ngibingan." kata Muti dengan senyumnya.

   "Terima kasih banyak Pak Irdi, nanti sebelum pulang saya pasti kesana." kataku sopan sambil menyalami hansip desa itu.

   Irdi segera bergegas meninggalkan kami, melintasi halaman menuju pagar. Bisa kubayangkan, betapa kecewanya dia yang mungkin berharap bisa mengobrol banyak dengan idolanya.

   "Ayo masuk!" kata tanteku mempersilahkan.

   "Iya, permisi Tante." kataku sopan.

   Aku memasuki ruang tamu besar yang di hiasi berbagai macam lukisan. Perabotan kayu tampak di ruang tamu itu, mulai dari kursi, meja, serta lemari yang dipenuhi buku. Minimalis, namun tampak tertata rapi. Dari ruang tamu terlihat ruang besar dan tangga kayu. Langit-langit rumah ini tinggi, khas arsitektur Belanda.

Tanteku mempersilahkan duduk. "Panggil saja Muti. Umur kita tidak jauh, kan?"

   Andaikan saja statusnya bukan istri pamanku, ah mikir apa aku ini? Lebih baik selesaikan tugas keluarga saja.

   "Mau teh atau kopi?" tanyanya ketika aku duduk di kursi kayu jati.

   "Air putih saja tan..eh." kataku kikuk belum terbiasa dengan status keluarga.

   "Teteh." ucap Muti lembut. Ia hanya tersenyum melihat aku kikuk.
   Muti melangkah meninggalkanku. Aku memperhatikan lekuk tubuhnya dari belakang dari balik dasternya yang gombrong bisa kutebak, sebagai penari pasti dia memiliki tubuh yang proposional, apalagi sampai memiliki banyak idola.

   Kualihkan pandanganku ke arah lukisan-lukisan yang tergantung di tembok. Kemudian kuperhatikan buku-buku di rak yang berjejer di ruang tamu. Buku mengenai kedokteran dan biologi tampak di judul-judul yang terpampang di punggung buku tersebut. Aku tidak pernah tahu kalau ternyata pamanku seorang dokter, atau setidaknya orang yang tertarik kepada ilmu kedokteran. Ibuku saja juga tidak pernah menceritakan mengenai profesi pamanku ini. Hanya yang kutahu dari ibu, bahwa paman pernah mendapat beasiswa untuk kuliah jurusan biologi di Swiss. Dengan kondisi rumah dan bangunan, mungkin saja dulu pamanku adalah dokter di desa terpencil ini. Aku pun mulai menduga.

   Muti datang membawa mampan berisi air putih, botol air dan segelas teh. Ia meletakkan segelas air putih dan botolnya di hadapanku, kemudian teh untuk dia. Muti meletakkan mampan di meja dan duduk di kursi di seberangku.

   "Silahkan diminum. Nah, ada kabar apa?" katanya sambil tersenyum. Sebenarnya hanya senyum biasa, tapi mampu menusuk hati laki-laki single berusia 26 tahun sepertiku, atau bahkan mungkin semua lelaki normal yang bertatapan wajah dengannya.

   Aku pun mulai menceritakan kepada Muti pesan keluarga suaminya yang ingin kusampaikan.

Beranda

Blogger Template by Blogcrowds.