MASSACRE NOVEL
12
PEMANCAR
Aku
mempersenjatai diri dengan pisau dapur. Sedangkan Tika memegang golok.
"Kamu
sudah pernah membunuh orang?" kata Tika kepadaku.
"Belum.
Kenapa?" tanyaku.
"Kali
ini kamu bisa membunuh tanpa ditangkap polisi." ujarnya sambil tersenyum.
Tentu
saja, jika berhadapan dengan makhluk beringas di luar sana cuma dua pilihan jika ingin selamat, yaitu, lari
atau lawan.
"Tenang
saja, kan ada
kamu yang bisa ikut jadi tersangka." Kataku
sedikit menggodanya.
"Enak
saja." kata Tika mencubit lenganku.
Aku
merasa, kalau perempuan ini mulai sedikit cair kepadaku. Atau
mungkin saja, aku yang merasa sudah
mulai
terbiasa dengan dia.
"Bagaimana
siap?" Ragil berjalan menghampiri kami setelah selesai menghitung peluru. Ia menyerahkan tiga peluru
kepada Tika. "Ini untuk pistol kamu, kuambil dari sisa punyaku."
"Terima
kasih." kata Tika. Ia pun segera berjalan ke meja untuk mengisi clip peluru pistolnya.
"Semuanya."
Ragil berkata. "Kamu, Sersan
Iwan sebagai
kepala regu tolong pimpin teman-teman. Jaga mereka!"
"Siap."
Sersan kepala bernama Iwan berkata.
"Semoga
kita semua selamat dan dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Dan bisa bertemu
lagi." kata Ragil berwibawa.
"Siap."
para tentara itu menjawab kompak.
"Ayo
kita bersiap! kita keluar lewat pintu belakang!"
****
Kami
berada di dapur. Tentara-tentara itu bersiap di belakang pintu yang menuju ke halaman
belakang, setelah terlebih dahulu menyingkirkan barikade.
Suara
pintu di tabrak dari luar oleh makhluk-makhluk itu terdengar. Apa jadinya kalau
tidak diganjal? Mungkin pintu itu sudah didobrak oleh makhluk itu.
"Siap?'
tentara bernama Iwan memegang gagang pintu "Ingat incar
leher mereka, penggal kepalanya." katanya.
Tentara bernama Iwan itu kemudian membuka pintu lebar-lebar. Para
prajurit bangkit menyerbu dengan sangkur di ujung senapan mereka. Seperti
menusukkan tombak, mereka menyerang makhluk yang menyerbu masuk begitu pintu terbuka.
Darah bermuncratan, setiap mereka mencabut pisau yang menghujam tubuh makhluk
di depan pintu.
Aku
menggenggam pisauku erat-erat, bersiap menghadapi petualangan seru dan tantangan maut
diluar sana .
Lima
makhluk yang kulihat ada di balik pintu roboh dengan leher sobek mengerikan. Darah
berwarna hijau bercampur hitam pekat mengalir di lantai.
"Maju,
Serbu!" perintah Ragil.
Kami
pun berlari keluar dari ruangan dapur.
Kulihat
halaman belakang yang kecil yang sekitarnya di batasi oleh kebun singkong dan
ladang jagung. Terlihat empat makhluk tersebut dengan wajah kering yang mengerikan
di halaman kecil itu.
Para prajurit itu maju dua-dua menyerang keempat makhluk
itu. Aku mengikuti Tika dan Ragil yang berjalan di depanku. Kulompati mayat-mayat
makhluk yang bergeletakan di depan pintu. Sempat kulihat salah satu mayat itu
bahkan masih berusaha bangkit, tangannya menggapai-gapai, walaupun lehernya sudah
setengah koyak dan kaki nya sudah terpisah dari badannya.
Ketiga
makhluk itu jatuh. Tentara-tentara itu menghujamkan sangkurnya berkali-kali ke
tubuh makhluk itu sampai mereka tidak bergerak.
Sedangkan
kulihat Ragil susah payah, sedang berusaha menyarangkan sangkurnya menyerang leher
makhluk satu lagi. Tapi makhluk itu tiba-tiba menghindar, dan
menyerang aku yang baru keluar pintu. Aku reflek menendang makhluk itu hingga
terdorong mundur. Tika yang berdiri di dekatku meloncat sambil mengayunkan
golok di tangan kanannya ke arah makhluk itu.
Kepala
makhluk itu tertebas terpisah dari badannya oleh golok di tangan Tika. Darah
hitam bersama cairan hijau bermuncratan ke tanah dari tubuh makhluk itu. Tubuh
tanpa kepala dari makhluk itu masih kelojotan beberapa saat, kemudian terkulai
mati di hadapanku.
"Terima
kasih." kataku.
Tika
hanya berdiri melihat kepala makhluk yang baru di tebasnya itu kemudian
menatapku. Wajah perempuan itu tampak shock.
"Ayo
kita bergerak!" kata Ragil.
"Semoga
sukses, Letnan." kata Iwan. Kemudian ia berbalik memberi komando kepada teman-temannya
untuk berkumpul.
Aku
memperhatikan para Tentara itu masuk kembali ke dalam
Balai Desa dan menutup pintu. Ragil memberi tanda kepada kami untuk berlari mengikutinya
menerobos kebun singkong di sebelah kiri.
Ragil
berjalan di depan, disusul Tika di barisan kedua, sedangkan Aku mengikuti
mereka. Kebun singkong ini tampaknya sudah lama tidak terurus. Pohonnya sampai
menjulang tinggi, setinggi orang dewasa. Tidak
kulihat ada batang-batang baru yang ditanam, seperti yang tadi pagi
diajarkan Muti di rumah paman. Di depan kami tampak ladang jagung membatasi lahan
singkong.
Ragil
berhenti tangan kirinya diangkat memberi tanda berhenti. Tika dan Aku merunduk
di dekatnya, setelah kami sampai di batas antara ladang jagung dan
lahan singkong.
"Ada orang." Ragil
berbisik.
Kulihat
ada sekelebatan bayangan orang di antara kerimbunan pohon jagung.
"Sepertinya
makhluk itu." kata Tika.
Ragil berjalan mengendap-ngendap mendekati
rimbunnya pohon jagung.
"Kamu
tunggu disini!" bisik Tika kepadaku.
Aku
melihat kelebatan bayangan di antara kebun jagung itu, berjalan mondar mandir.
Ragil mendekati memasuki ladang jagung itu, sedangkan Tika mengikutinya
berjarak 2 meter dibelakang. Tika tampak erat menggenggam golok di tangannya
bersiap-siap.
"Awas!."
Tika berteriak.
Tiba-tiba sesosok makhluk menyerang dari sebelah
kiri Ragil. Menerkam dan mendorong lelaki itu hingga jatuh
terlentang. Makhluk itu jatuh menindih tubuh Ragil. Mulut makhluk itu berusaha
menggigit leher Ragil.
Lelaki
itu menusukkan pisau sangkur ke leher makhluk itu, mencabutnya dan menusukkan
lagi. Cairan hijau dan hitam muncrat dari leher makhluk itu.
"Arrrhhhhggg..."
Sebuah teriakan Mengagetkan-ku.
Sesosok
monster yang ada di ladang jagung berlari kencang kearahku sambil berteriak.
Monster ganas berbentuk manusia itu mendekat ke arahku, berteriak mengeram
seperti macan.
Aku
panik karena makhluk ini sangat cepat sekali berada di depanku. Dengan reflek
kutahan makhluk itu dengan kaki depanku, kemudian kuayunkan lengan, kemudian kuhujamkan pisau dapur
ke dada makhluk itu dan kudorong makhluk itu dengan kedua tanganku,
sehingga pisau yang kupegang tercabut mencabik dada makhluk itu.
Aku
meloncat mundur kebelakang, bersiap dengan serangan berikutnya. Namun,
tiba-tiba tubuh makhluk itu jatuh ke samping kiriku. Kulihat Tika menebas kaki
kiri makhluk itu dengan goloknya. Menebas putus kedua lututnya. Akupun meloncat
ke depan sambil menghujamkan pisau tepat
di leher
makhluk itu.
Aku
belum pernah membunuh orang satu kalipun. Kalau memukul orang sih pernah,
waktu melakukan kumite ketika aku ikut karate dulu. Atau memukul Imron
teman sekelasku yang iseng waktu SMA, atau memukul Wisnu teman SMP yang suka
malak. Sisanya aku termasuk orang yang bisa menahan emosi bahkan cenderung
kalem.
Baru
kali ini kurasakan menghujamkan pisau ke tubuh manusia. Walaupun yang kuhujamkan
pisau ini bukan seratus persen manusia, melainkan hasil mutasi manusia,
Manusia yang menjadi makhluk ganas. Tetap saja perasaan aneh meliputiku,
seperti ada sedikit rasa bersalah bercampur takut,
apalagi
ketika melihat makhluk ini meregang nyawa di ujung pisauku. Aku menengok untuk
mengetahui keadaan Tika dan Ragil.
Kulihat
Tika melihatku, sambil ia sesekali melihat ke arah ladang, bersiaga
jika makhluk lain tiba-tiba muncul. Kulihat Ragil bersiaga diantara pohon
jagung.
Kuduga, Letnan
itu pasti sudah pernah melewati banyak medan
tempur, sehingga dia masih bisa bersiaga dan waspada tanpa merasa tertekan
sepertiku. Tapi tidak demikian dengan Tika, raut wajahnya masih
tampak shock sejak dari pintu belakang balai desa tadi. Mungkin Tika juga
mengalami gejolak didalam hati sepertiku.
Ragil
mundur berlahan dari ladang jagung. Dia berlari kecil menghampiri kami.
"Kalian
tidak apa-apa?" kata Ragil.
Tika
menggeleng.
"Waspada!
Mungkin saja di tengah ladang jagung ada banyak." Ragil berkata.
"Ayo!"
Tika
memperhatikanku, mengangguk memberi ajakan kepadaku. Aku masih terbengong, dengan
pisau ditangan yang masih menancap di leher makhluk ini memperhatikan mereka
berdua. Kucabut pisau dari leher makhluk ini. Cairan hitam bercampur hijau
muncrat ke baju dan celanaku.
Bau
sekali cairan yang keluar dari tubuh makhluk ini. Cairan hitam dan hijau kental
yang menempel di bajuku. Baunya busuk, sehingga membuatku merasa
ingin muntah, tapi kutahan. Baunya serasa menempel di badanku. Menutup hidung pun tidak akan dapat
menghindarkanku dari bau ini. Aku heran dengan letnan Ragil dan Tika yang
tampaknya tidak terpengaruh dengan bau dari cairan yang terlihat jelas dari jejak bekas cipratannya di wajah dan
leher mereka.
Kami
berjalan mengendap perlahan-lahan diantara kerimbunan batang-batang jagung
yang tinggi dan menguning. Sebagian pohon tampak berbuah. Kulihat pula buah-buah
jagung berserakan di tanah, karena buahnya dimakan burung atau jatuh karena busuk.
Tanda ladang ini tampaknya tidak pernah terurus selama beberapa bulan.
Ragil
berjalan sambil menghadap depan, Tika berjalan sambil bersiaga ke kanan, sedangkan
aku bersiaga ke kiri, sesuai instruksi dari Ragil sebelumnya.
Melewati
ladang jagung yang luas ini seperti tidak ada tanda-tanda kehadiran makhluk
serupa seperti sebelumnya. Kami tiba di tebing curam yang membatasi ladang
jagung dengan sawah dibawahnya. Di ujung tebing ada deretan pohon besar berdiri menaungi dan
membatasi
ladang jagung.
Kami
mendekat dengan cepat ke arah pohon. Kemudian kami jongkok, sambil tetap waspada di
sekitar batang pohon itu.
"Kemana
arahnya?" tanya Ragil kepada Tika.
Tika
melihat sekeliling ke arah sawah di hadapannya. Kemudian ia menunjuk ke arah persawahan.
Aku
dan Ragil memperhatikan dengan cermat ke arah yang ditunjuk Tika.
Terlihat di ujung sawah yang luas itu menyembul di antara barisan pepohonan, tampak ujung sebuah antena radio. Kalau diperhatikan sekilas, tidak nampak ada antena
karena jaraknya yang jauh sekali.
Aku
melihat di tengah-tengah sawah ada orang-orang yang berjalan. Mungkinkah
makhluk itu?
Ragil sepertinya juga memperhatikan hal tersebut, wajahnya ditekuk dan
matanya menyipit.
"Tampaknya
Mereka juga bukan manusia?" Kataku.
"Sepertinya
jangan lewat sawah." Ragil berkata.
Makhluk
itu berjalan-jalan di pematang sawah, bahkan ada yang berjalan di antara
padi-padi. Tidak seperti yang kulihat dalam perjalanan kesini ketika mereka
berjalan di pematang sawah dari kejauhan. Kali ini tampaknya mereka berjalan
tidak teratur.
Tiba-tiba, terdengar bunyi
gema suara letusan di kejauhan. Disusul terdengar gema suara rentetan senjata.
"Tampaknya
teamku masih hidup." Tika berkata kepada kami.
"Lihat
mereka itu berjalan kesana" Aku berkata ketika melihat makhluk-makhluk di
tengah sawah berjalan berbalik arah berjalan serentak menuju ke satu arah,
seakan mereka mengikuti sesuatu. Mereka berjalan cepat sekali menjauhi lokasi
tempat kami berdiri.
Suara tembakan-tembakan terdengar lagi.
"Mereka
tampaknya peka dengan suara." kataku.
"Maksudmu?"
tanya Tika.
"Kamu
dengar suara tembakan itu? Mereka berjalan mencari asal dari gema suara
itu." Kataku menduga.
Kami
melihat ke arah sawah, ketika terdengar suara tembakan lagi. Makhluk-makhluk yang ada
di tengah sawah terlihat mulai berlari, semakin menjauh. Semakin menguatkan dugaanku.
"Kamu
benar Toyib." kata Tika.
"Tampaknya
Allah berpihak pada kita." ucap Ragil. "Ayo kita menuruni lereng
ini!"
Kami
menuruni lereng melalui jalan setapak kecil yang terletak beberapa pohon dari
deretan pepohonan itu. Kami menuju sawah yang terletak di hadapan kami.
Pematang
sawah-sawah lebarnya kira-kira setengah meter. Sehingga
kami bisa melewatinya sambil berlari tanpa
harus mengalami kesulitan dalam menjaga keseimbangan badan.
Sesekali
terdengar suara gema letusan senjata dari kejauhan. Dari kejauhan
makhluk-makhluk itu kulihat berjalan ke arah suara letusan senjata. Kami hanya
berharap makhluk-makhluk itu tidak menyadari kehadiran kami di belakang mereka
dari jauh.
Kami
tiba di ujung pematang sawah. Nafasku tersenggal-senggal. Entah berapa jauh jarak
antara ladang jagung dan sawah ini. Mungkin sekitar dua
setengah sampai tiga kilometer. Bagi letnan Ragil dan Tika yang
terbiasa dengan latihan fisik, walaupun nafas mereka juga tersengal-sengal, tapi
tidak terlihat capai, mungkin karena mereka berasal dari latar belakang militer.
"Merunduk!"
Kata Ragil ketika sampai di pepohonan.
Kami
pun merunduk di antara semak-semak yang tumbuh di sekitar pepohonan. Aku masih
mencoba mengatur nafasku. Agar jangan sampai kehadiran kami diketahui
makhluk-makhluk itu hanya gara-gara suara nafasku.
Dari
kejauhan, kulihat jalan raya desa di dari
balik semak-semak
dan pepohonan. Aku memperhatikan makhluk-makhluk itu berjalan melalui
jalan desa itu. Mereka berjalan cepat, bahkan ada yang terlihat berlari
kencang menuju ke asal gema suara tembakan yang masih sekali-kali terdengar.
Mungkin saja makhluk-makhluk yang berjalan berbondong-bondong itu,
adalah yang
berada di halaman balai desa tadi.
Terdengar
suara gema rentetan senjata dari kejauhan, arahnya
dari belakang
kami. Aku menengok kebelakang, demikian juga Ragil dan Tika. Karena
jauh, maka suara
rentetan itu tidak terlalu besar volume-nya, sehingga makhluk-makhluk
yang berjalan di sepanjang jalan desa sepertinya
juga tidak mendengarnya.
Kutebak, suara
tembakan dibelakang kami itu berasal dari anggota pasukan tentara yang bertahan di Balai Desa. Dari raut wajah Ragil terlihat
wajahnya yang sedikit khawatir ketika mendengar suara tersebut, mungkin dia
khawatir dengan nasib anak buahnya.
"Ayo
maju! Kita ke pepohonan di seberang." kata Tika. Ketika
makhluk-makhluk itu sudah melewati kami.
Kami
pun merunduk mengendap-ngendap diantara semak-semak, sampai tiba di pinggir
jalan aspal desa. Setelah memastikan tidak ada makhluk yang datang dari arah
kiri, kami pun dengan cepat menyeberangi jalan kecil itu supaya makhluk-makhluk
yang berjalan disisi kanan kami; membelakangi kami, tidak menyadari kehadiran
kami.
Kami
berjalan menyusuri semak-semak yang ditumbuhi pepohonan. Mengikuti dan mengawasi gerak makhluk-makhluk itu jauh dari belakang. Melewati kebun singkong,
pematang sawah yang panjangnya lebih pendek dari sebelumnya. Kami pun tiba di
rumah yang dimaksud Tika.
Rumah
yang bertembok beton permanen tidak bertingkat. Di samping rumah tampak tiang
pemancar yang tidak begitu tinggi. Antena yang berbentuk piringan bulat menempel
di batang tiang pemancar tersebut. Pintu depan rumah itu
terlihat terbuka dan rusak seperti habis di dobrak.
"Jangan-jangan
rumah ini pusat komando?" Kata Ragil.
Pertanyaan yang sama juga muncul di benakku.
"Kita
masuk dari belakang." ajak Tika sambil berjalan merunduk mengitari pagar
hidup yang membatasi rumah dengan pepohonan dan semak tempat kami bersembunyi.
Kami pun mengendap-endap mendekati rumah tersebut.
Untuk mencari tahu rahasia apa yang ada didalamnya.
Langganan:
Postingan (Atom)