MASSACRE NOVEL
11
PILIHAN
Aku
berdiri dan berjalan keluar dari ruangan keamanan. Aku melihat Tika dan Ragil sedang
berdiri di teras balai desa. Ragil membaca surat di tangannya. Sedangkan Tika memperhatikan.
Aku
berjalan menghampiri mereka. Tiba-tiba terdengar suara rentetan tembakan dari
depan yang menghentikan langkahku.
Tika
dan Ragil tampak kaget. Mereka mencabut pistol dan mulai menembak.
Tentara yang ada di dalam ruang sekretaris dan di ruang belakang berlari melewatiku menuju pintu depan.
Sampai
di pintu depan tentara-tentara itu melepaskan tembakan dari senapannya. Aku berlari
menghampiri mereka. Aku melihat kejadian yang mengerikan di halaman kelurahan.
Beberapa
tentara dihalaman di serang oleh orang-orang yang telah berubah menjadi makhluk
buas, seperti makhluk yang kutemui di basement rumah paman dan bengkel pandai besi. Entah darimana mereka berasal, datang dari segala penjuru
menyerang tentara-tentara itu. Kulihat seorang tentara sudah terburai ususnya dan menjadi
santapan 3 makhluk itu. Kulihat seorang tentara lagi meronta-ronta digigiti makhluk
tersebut. Seorang tentara terlihat menembak melindungi temannya, namun di terkam
dari belakang oleh salah satu makhluk itu sehingga jatuh terjerembab.
Makhluk-makhluk
sisanya berlari ke arah kami menuju pintu masuk balai desa. Tentara yang
tersisa menembaki mereka. Namun mereka tetap bangkit lagi walaupun dada dan
kepalanya sudah tertembus peluru.
"Mundur!
Masuk kedalam!" teriak letnan Ragil.
Tika
dan tentara-tentara lainnya mundur sambil menembaki.
"Tutup
pintunya!" perintah Ragil.
Aku
pun reflek, segera meraih pintu di sebelah kananku. Aku mendorong
untuk menutup pintu disebelah kananku. Seorang tentara lagi mendorong pintu
sebelah kiri.
"Cepat
masuk komandan!" kata tentara di pintu sebelah kiri.
Ragil
yang sedang menembaki segera meloncat ke belakang. Masuk ke dalam ruangan. Tentara
di pintu kiri itu menutup pintu.
Namun
makhluk-makhluk tersebut tampaknya tidak menyerah. Mereka menabrakkan badan mereka
ke pintu kayu jati itu. Mereka mencoba mendobrak pintu.
"Ganjel.
Angkat Meja!" Tika menyuruh tentara yang berdiri di sebelahnya. Wajah tentara
itu pucat pasi. "Cepat!"
Tentara
itu berbalik, namun sudah ada dua temannya mengangkat, mengeluarkan meja
dari ruang keamanan untuk mengganjal pintu.
"Pintu
belakang juga!" Ragil menyuruh anak buahnya. Tiga orang tentara lainnnya
berlari menuju belakang kantor sambil masih menenteng senapan SS1 nya.
Aku
membantu mengganjal pintu depan dengan meja. Sedangkan Letnan Ragil pergi ke
ruangan belakang memasang barikade pintu belakang.
Terdengar
suara tembakan dari ruangan paling belakang. Suara rusuh orang
berteriak-teriak. Suara pintu di banting. Suara barang pecah belah jatuh.
Tika
yang dari tadi berdiri terdiam melihat kami mengganjal pintu, segera berlari ke
arah ruangan sebelah kiri di belakang. Belum sampai Tika ke pintu, letnan Ragil
keluar ruangan tangannya memegang pisau belati berlumuran darah hitam pekat dan
cairan berwarna hijau, leher dan dadanya terlihat cipratan darah.
"Clear.
angkat meja lagi untuk ganjel belakang!" Letnan Ragil memberi perintah kepada
tiga anak buahnya yang tadi mengganjal pintu depan.
Dua
orang anak buahnya berlari masuk ke ruang keamanan, dan keluar sambil membawa
meja. Seorang tentara berlari menyongsong dan membantu mengangkat meja.
Terdengar suara kaca pecah dari ruang samping. Tika berlari ke pintu dan menengok ke dalam
ruang
administrasi desa.
"Mereka
masuk lewat jendela." Tika berteriak.
Aku
segera berlari ke pintu ruang Administrasi desa. Ketika ingin kuraih gagang
pintu kulihat makhluk itu menghampiriku. kutendang dengan kaki depan sehingga
makhluk itu jatuh terjengkang. Kulihat makhluk2 lainnya memanjat jendela yang
pecah kacanya itu. Aku segera menutup pintu. Kulihat kunci masih menempel,
kuputar kuncinya. Beruntung.
Ragil
menutup pintu di ujung sebelah kanan dan diganjalnya dengan kursi. Kecuali
ruang keamanan, tampaknya keempat ruangan lain memiliki jendela.
Suara
pintu digedor-gedor dari dalam oleh makhluk-makhluk itu. Aku bergerak mundur menjauhi
pintu. Kulihat Tika menurunkan pistolnya.
"Peluruku
habis." katanya kepadaku.
Aku menghampiri letnan Ragil yang sedang
berdiri di depan ruangan bertuliskan "Pengurus Desa".
"Bagaimana
kalau pintu ini tidak dapat bertahan? kataku kepada Ragil.
"Benar,
tampaknya kita harus cari cara keluar dari sini." jawab Ragil.
"re-group!" Ragil berteriak.
****
Tentara
itu hanya tersisa 7 orang termasuk letnan Ragil, dari total sekitar 20 personil. Aku ikut menghitung. Kami berkumpul di ruang keamanan.
Satu-satunya ruangan yang tidak memiliki jendela.
"Bagaimana
anggota kamu?" tanya Ragil kepada Tika yang sedang memegang HT.
"Tidak
ada jawaban." kata Tika.
"Telepon
genggam?" tanya Ragil.
"Tidak
ada sinyal." Tika menunjukkan telepon genggam di tangan kanannya.
Aku
mengeluarkan handphone ku dari saku kanan. Kulihat tidak ada tanda signal di layarnya.
Padahal, kemarin dan tadi pagi waktu di rumah paman
signalnya full.
"Punyaku
juga tidak ada" kataku.
"Sama
saya juga, Pak." Seorang tentara menunjukkan handphonenya.
Ragil mengangguk sepertinya handphone ditangan dia
bernasib sama.
"Jangan-jangan
anggota polisi di serang makhluk-makhluk itu?" Ragil menduga.
Tika hanya menekuk bahunya tanda tidak tahu.
"Kita
harus mencari radio meminta bantuan. Ini sudah darurat. Aku melihat ada rumah
dengan pemancar di dekat TKP." Tika berkata kepada Ragil.
"Dimana?
tapi bagaimana keluar menghadapi makhluk-makhluk itu?" ujar Ragil.
"Ditembak saja tidak mati."
"Bagaimana
kalau dipenggal?" tukasku.
"Dipenggal?"
Ragil bertanya heran.
"Ya,
seperti yang tertulis di surat
itu." kataku.
"Eh, dimana
tadi kertasnya? Aku belum selesai membacanya." Ragil berjalan keluar ruangan.
Aku mengikuti dari belakang.
"Sepertinya
jatuh di luar deh." kata Ragil setelah melihat di sekeliling pintu masuk.
"Ditulis
di surat itu, bahwa militer Indonesia
pernah menghadapi situasi seperti ini di antara tahun 1966 sampai
1970." Aku menjelaskan. "Salah satu cara membunuh orang yang sudah
terinfeksi virus itu adalah memenggal kepalanya atau membakarnya."
"Jadi
makhluk-makhluk itu berasal dari mutasi akibat virus?" Ragil bertanya heran.
"Kemungkinan
iya." Jawabku. "Berhubungan dengan penelitian rahasia mengenai
virus berbahaya di desa ini."
"Tidak
masuk akal, lagipula situasi yang terjadi sekitar tahun 1966 sampai 1970
seperti yang kamu katakan tidak ada di pelajaran sejarah di akademi
militer." Ragil membantah.
"Itu
masa peralihan, setelah dari orde lama ke orde baru. Juga mana ada fasilitas
rahasia di daerah ini?”
"Justru
itu dirahasiakan. Sebenarnya mutasi genetik akibat virus itu yang menjadi
penyebab terjadinya pembunuhan besar-besaran pada masa itu." tukasku.
"Semua
tertulis lengkap mengenai konspirasi KGB dan PKI. Hanya kontrol internasional
saja yang menutup sejarah kelam itu." Aku bersikeras
berusaha
meyakinkan prajurit berpangkat Letnan itu.
"Konyol. Bisa
saja isi surat
itu hanya karangan belaka." Ragil beragumen menepis penjelasanku.
"Ada cap Pemerintah
RI dan WHO. Mana mungkin?"
Aku mulai gusar dengan prajurit keras kepala itu.
Ragil terdiam tidak menanggapiku.
"Kalau
dipenggal masuk akal juga sih. Tadi yang di pintu belakang dapur kutusuk
lehernya dan jatuh tidak bergerak." Ragil bergumam sendiri
tanpa mempedulikanku.
"Sudah,
lebih baik kita mencari alat komunikasi." kata Tika yang tiba-tiba ikut nimbrung.
Ragil
masih terlihat mondar-mandir di dekat pintu yang tertutup barikade. Tampaknya
ia berfikir.
"Kita
ke rumah yang ada antena radio, kemudian kita check kondisi pasukan polisi yang
ada di tempat kejadian perkara, kemudian kita keluar desa ini
bersama-sama" kata Tika sambil menyibakkan rambutnya.
"Kamu
gila kembali kesana! Kita disini saja." Aku kaget dengan
ide perempuan itu.
Tampaknya dengan kejadian ini, wanita itu
sudah tidak mengindahkan pesan atasannya untuk melindungi saksi.
"Atau
lebih baik kita langsung keluar dari desa ini?" Kata Ragil.
"Yang
kutakutkan makhluk-makhluk itu juga sudah menyerang desa lain, dan mungkin ada
juga di sekitar hutan perbukitan diantara desa ini dan desa sebelah." kata
Tika.
"Tapi
tetap saja gila. Bagaimana kalau kita gagal melawan makhluk-makhluk itu?"
kataku.
"Aku masih penasaran dengan nasib adikku, dan ingin mengorek informasi dari
Muti." Tika
menjawab.
"Bagaimana kalau Muti sudah ditangkap
atau ditembak karena melawan petugas?" tukasku. “lagipula kalau sudah
ditangkap bisa kamu interogasi di kantor polisi.”
“Muti lari dan menghilang di ladang jagung.
Kami tadi mencari jejaknya, namun hanya menjumpai makhluk ganas di ladang
jagung.” kata Tika.
“Begini, kita anggap saja adikmu sudah mati
di bunuh curanmor.” Kataku.
“Tidak bisa! aku penyelidik polisi. Aku harus
menemukan bukti kesimpulan hasil penyelidikan, daripada sekedar dugaan.” Tika
bersikeras. Tatapan tajamnya melihatku, menyerangku, langsung menusuk ke dalam
jantungku.
“hmm..” aku hendak berbicara tapi kutahan,
sedikit gugup menghadapi serangan tatapan tajam Tika. Kedua matanya memang
indah dan tajam tapi mematikan, sangat kontras jika disejajarkan dengan Muti
yang memiliki senyum manis yang mematikan.
Aku melanjutkan. "Hmm..mungkin juga. Kalau Muti dan Kang Ijal adalah pelaku curanmor
atau penculikan. Tadi waktu memang kulihat banyak Motor di garasi rumah paman. Semua
tidak ada plat-nya. Berarti benar dugaanmu bahwa adikmu di bunuh oleh Muti, atau
orang yang dilindungi Muti."
“Nah,kemungkinan, kan?” tukas Tika. “Aku benar, kan?”
Aku terjebak dengan dugaanku sendiri.
"Lalu apa hubungan curanmor dengan makhluk-makhluk
gila diluar itu? Tadi mereka tidak ada di sekitar
balai desa.” tanyaku
sedikit bergumam. Aku memang sedikit penasaran dengan situasi ini.
"Nah,
kamu juga ingin tahu, Kan ?" ucap Tika tersenyum kepadaku. Dia sudah merasa menang berdebat denganku.
Aku mulai merasa bimbang. Bimbang karena
ketidak-jelasan situasi yang kuhadapi, entah kenapa semua menjadi kacau. Ada
apa dibalik ini semua.
"Oke, Sudah? Aku ada akal." tiba-tiba Ragil menyela.
"Bagaimana?"
tanyaku.
"Kamu
kan cukup
gila katanya mau pergi ke pemancar, sekaligus mengecek kondisi pasukan polisi yang berada di
dalam." kata Ragil sambil menunjuk Tika.
"Kita
bagi dua team. Aku dan sisa tentara mencoba keluar desa mencari bantuan. Sedangkan
kamu berusaha mencapai rumah pemancar itu, sambil mencari tahu
kondisi pasukan polisi di dalam sana." Ragil
melanjutkan.
"Ideku
memang nekat tapi aku tidak gila pergi sendirian ke dalam. Lagipula ada saksi
yang harus kulindungi." Tika berdiri sambil menaruh tangan kirinya di
pinggang.
"Ya,
Mas ini...,siapa tadi aku lupa nama kamu?" Ragil berkata sambil
menunjukku.
"Toyib."
Aku menjawab, mengingatkan.
"Nah,
mas Toyib ini tinggal di sini saja atau ikut salah satu dari kita.
Bagaimana?"
"Aku
tidak setuju! Aku mau minta tiga anggota kamu ikut aku." Tika bersikeras.
Kini
giliranku yang diam melihat perdebatan kedua orang keras
kepala itu. Entah kenapa orang berlatar belakang militer yang kujumpai
rata-rata keras kepala. Mungkin hasil pendidikan yang menghasilkan orang-orang
bertipe keras, karena itu memang tuntutan pekerjaan mereka juga.
Aku
sesekali mengawasi pintu ruang administrasi desa. Aku takut, kalau
makhluk yang menggedor-gedor pintu dari dalam ruangan itu berhasil menjebol
pintu.
"Nggak
mungkin. Itu berarti aku mengorbankan sisa anggotaku." tukas
Ragil.
"Kalau
kalian semua ikut aku ke dalam. Kalau kita menolong dulu pasukan polisi yang
selamat di sana dan kemudian lari keluar desa
ini maka kemungkinan selamat lebih besar dengan bertambahnya jumlah orang, kan ?" kata Tika.
"Tapi
kalau sampai dalam kita semua terjebak dan mati, bagaimana? Siapa yang menghubungi
markas? Terus Mas Toyib ini disuruh ikut siapa?" nada suara Ragil mulai terdengar meninggi.
"Dia
ikut aku! orang ini kan
saksi." Tika juga mulai keras.
"Kalau
kamu mati atau mas Toyib mati, bagaimana?" Ragil mulai beragumen.
"Aku
tetap ingin ke dalam memberi bantuan kepada kesatuanku, dan
bersama-sama
keluar dari desa ini!" Tika bersikeras dengan kehendaknya.
"Bisa
saja, tapi ke dalam itu seperti berjudi dengan nasib. Dengan kondisi, ini nasib
pasukan polisi di dalam kita tidak tahu. Lebih baik kalau sebagian pasukan
berusaha keluar setidaknya kalau satu mati masih ada satu lagi, sampai orang
terakhir bisa mencapai tempat aman." Lanjut Ragil.
"Tidak
bisa, aku butuh bantuan untuk pergi ke dalam!" kata Tika bersikukuh.
"Kalau
ke dalam dan ternyata kita menjumpai nasib pasukan polisi di dalam sana sudah mati semua, terus
bagaimana?" Ragil bersikukuh, masih mencoba mengadu
argumennya.
"Kalau
ternyata mereka semua masih hidup?" Ujar Tika.
“Sulit menduga.” Kata Ragil.
“Kamu takut?” Tika menantang.
Ragil
terdiam, matanya melotot. Terlihat emosi di wajahnya. Keduanya
tampak saling berpandangan, yang satu menantang, sedangkan yang lain emosi.
Menghadapi penyelidik polisi yang terbiasa
menginterogasi para penjahat memang sulit, itu yang kurasakan ketika
bersitegang dengan Tika tadi. Walaupun keras, tampak kalau Letnan ini
tetap berargumen dengan logika. Memang benar apa yang telah dikatakan Letnan
Ragil ini, pergi ke dalam dapat lebih dikatakan seperti berjudi dengan nasib.
"Kita cari jalan tengah, kita ambil suara terbanyak." kataku menyela
keheningan, menengahi situasi dari hasil perdebatan tidak berujung
itu. Sebelum terjadi baku hantam.
Mereka
berdua terdiam memandangku. Ragil masih melotot. Tika menatapku kesal.
Mungkin karena ternyata dari awal memang aku tidak mendukung ide
gilanya.
Kayaknya, aku
sudah terbiasa dengan wanita ini sehingga tatapan tajam kedua matanya yang
indah sudah terlihat mulai biasa bagiku.
"Oke,
Kita diskusikan dengan anggotaku dulu." Ragil berjalan melewati kami,
memasuki ruang keamanan. Kurasakan aura Pria itu menahan
emosinya.
Kami berbalik mengikutinya. Ragil pun menjelaskan rencananya
kepada anggotanya.
"Aku
tetap mau ke dalam! Aku masih penasaran juga dengan nasib kesatuanku. Juga tentang
nasib adikku." Tika berkata kepadaku sambil berbisik. "Temani aku
donk."
Aku
tidak menjawab ajakannya. Walau keras, kurasakan Tika ini juga
tidak kehilangan sifat kewanitaannya yang sedikit manja dan memerlukan
perlindungan.
Letnan
Ragil dan pasukannya berdiskusi mengenai siapa yang mau ikut Tika ke pemancar
dan mengecek kondisi pasukan polisi, dan siapa yang mau mencari bantuan keluar
dari desa ini. Namun diluar dugaan, mereka sepakat untuk mengikuti Tika mencari alat komunikasi. Ragil
terdiam
tampak berfikir sejenak.
“Begini, kalian bertahan disini, kita tidak
bisa melawan makhluk diluar sana. Kita harus menyelinap dari makhluk-makhluk
itu, lebih sedikit orang akan lebih mudah melakukan penyelinapan.” Kata Ragil
memecahkan keheningan.
"Aku
menemani wanita itu, kalian tetap disini sampai aku kembali." Ragil melanjutkan.
"Siap!"
dijawab oleh para tentara dengan serempak.
Walaupun tampak dari raut wajah mereka, ada diantara mereka yang tidak setuju
dengan keputusan sepihak komandan mereka.
Aku
heran kenapa Ragil mengambil keputusan untuk ikut Tika ke dalam?
Padahal sebelumnya dia yang bersikeras untuk pergi mencari
bantuan. Mungkin benar kalau ia tidak mau mengorbankan nyawa
anak buahnya. Atau mungkin saja, diam-diam dia naksir Tika.
"Kamu
ikut aku!" Tika berbisik kepadaku.
"Nggak
mau. Aku disini saja?" kataku berbisik.
"Ini
perintah!" Katanya.
"Aku
bukan anak buahmu." ujarku ketus.
Tika cemberut mendengar jawabanku.
Aku
berfikir sejenak. Jika aku pergi dengan Tika, berarti aku
mempertaruhkan nyawa, namun sama saja jika tinggal
bersama
pasukan ini. Jika kami semua selamat maka nasibku berakhir
baik, Namun aku tidak akan pernah mengetahui misteri di balik kematian pamanku, jika Tika
tidak selamat. Jika aku mengikuti Tika dan Ragil maka
ada tambahan tenaga, mengingat Ragil tidak ingin mengorbankan nyawa anak
buahnya untuk mengikutinya, dan kalau beruntung aku bisa mengetahui detail
lengkap mengenai kejadian ini.
Akupun memutuskan untuk mengikuti wanita ini. Namun aku tidak
mau berdebat lebih panjang dengan Tika, biar saja dia menebak. Lagipula entah kenapa aku merasa tidak rela membiarkan Tika pergi dengan
Ragil. Aku juga mulai sedikit tidak rela kehilangan wanita ini.
"Aku
pergi dengan kamu." kata Ragil kepada Tika.
"Siap,
Komandan ada pertanyaan. Apakah orang ini ikut kita?" seorang tentara
yang sepertinya menjadi komandan regu bertanya.
Ragil menengok kepadaku.
"Aku
ikut kamu." ujarku kepada Ragil.
"Apakah
tidak berbahaya?" kata Ragil.
"Apakah dengan bertahan disini tidak berbahaya?." kataku.
“Ada anak buahku yang akan menjagamu.” ujar
Ragil. “Lagipula kamu saksi dan kamu sipil.”
“Aku ikut kamu.” Aku menegaskan.
Ragil menekuk keningnya sambil menatapku. Ia menengok
kebelakang.
"Orang
ini ikut aku." kata Ragil kepada anggotanya itu.
Kulirik Tika. Mata perempuan itu
berbinar-binar senang ketika mengetahui keputusanku.
"Kayaknya
kita harus mencari senjata lain. Peluru kita sangat terbatas dan tidak efektif melawan makhluk-makluk itu." ucap Ragil.
"Mungkin
ada golok di dapur." ucap Tika, sambil berjalan menuju
dapur. Wajahnya tampak senang.
Langganan:
Postingan (Atom)