Novel Zombie Indonesia


17

SETENGAH HIDUP


   Aku mengayunkan pedangku. Menusuk, menebas membabi-buta ke arah makhluk-makhluk yang mendekatiku. Aku memang pernah diajari menggunakan pedang kayu waktu berlatih kendo dulu.

   Sulit bagiku untuk langsung mengarahkan pedang ditanganku memotong kepala makhluk ini. Kutendang Makhluk didepanku sambil kuayunkan pedang. Menusuk dan menebas bagian dada atau kakinya, kemudian baru kupotong kepalanya.

   Aku sudah tidak memikirkan lagi rasa kemanusiaan ataupun rasa tega. Nyawaku terancam, aku tidak mau menjadi santapan monster-monster itu.

   Kutendang salah satu monster yang menyerangku sampai terdorong menabrak rak besi. Kutancapkan katana ke leher makhluk itu.

   Aku tidak peduli ketika cairan hitam-hijau berbau busuk, bermuncratan di dari tubuh makhluk-makhluk itu mengenai wajah dan badanku. Aku mencabut pedang, membalikkan badan dan menebas ke arah leher makhluk dibelakangku.

   Irdi yang sudah berubah lari mendekatiku, sangat dekat sekali sehingga aku tidak bisa mengambil kuda-kuda. Aku terdorong sampai pingganku membentur ranjang pasien. Irdi melompat menerkamku. Spontan kutusukkan katana kedepan, sehingga menghentikan langkah makhluk itu. Aku melihat pedang katana masih tergantung di pinggang Irdi. Segera kutarik katana di pinggang Ijal dengan tangan kiriku dan kutusukkan ke lehernya menembus sampai kepala belakang. Bunyi kulit sobek menembus daging terdengar jelas di kupingku. Suara Irdi tercekat. Kuputar pedang dikanan dan kiriku berlawanan arah dan kugerakkan kedua tanganku ke samping. Darah segera bermuncratan di badanku.

   Aku melihat Tika juga memainkan pedang. Perempuan itu lebih gesit lagi, dengan pistol di tangan kanan dan pedang katana di tangan kiri, dia menghajar makhluk-makhluk itu.

   Aku berlari menghampiri perempuan itu.  Kuhujamkan kedua pedang katana di tanganku ke arah makhluk yang hendak menyerang Tika dari belakang. Setelah aku menghujamkan katana-ku kutendang tubuh makhluk itu sampai terpental menjauh.

   Aku kemudian beradu punggung dengan Tika. Melihat sisa makhluk yang tersisa berjalan mendekati kami. Ada empat makhluk di hadapan kami. Kaki keempat makhluk itu koyak dan hanya terlihat tulang-tulang disekitar dagingnya yang sudah habis dan tercoak sebagian. Itulah sebabnya mereka berjalan lebih lambat dari yang lainnya.

   Pandanganku mulai berkunang-kunang. Jangan bermutasi sekarang, kataku dalam hati.

   "Ayo kita selesaikan. Kamu kanan, aku kiri." Tika berkata.

   Nafas perempuan itu terdengar tidak teratur. Entah karena capai atau, karena juga merasakan hal yang sama denganku.

   Aku maju menusukkan pedang ke leher makhluk di depanku. Kemudian kuputar gagang pedang, sehingga kepala makhluk itu lepas dari badannya. Kemudian aku melompat dan menebas makhluk berikutnya, mengenai dadanya. Makhluk itu terjatuh. Ketika makhluk itu hendak bangkit, aku segera menebas lehernya.

   Tika menebas kaki makhluk kedua, sehingga makhluk itu jatuh. Kemudian ia menghampiri dan menancapkan katana ke leher makhluk itu. Tika mencabut pedang dari leher makhluk itu. Tubuh perempuan itu sempoyongan, ingin jatuh kebelakang. Kutahan punggung gadis itu.

   "Aku pusing." kata Tika.

   "Tampaknya kita mau bermutasi." kataku. "Kita cari serumnya. Ayo!"

Aku teringat akan serum yang dikatakan Ricardo sebelum bermutasi. Aku memapah Tika, berjalan menuju ruangan berpintu kayu yang ditunjuk Ricardo. Meskipun aku sendiri merasakan tubuhku panas dan pandanganku mulai berkunang-kunang.

   Pintu ruangan itu tidak terkunci. Kami masuk ruangan dan kututup pintunya. Khawatir kalau ada makhluk itu yang tiba-tiba masuk menyerang kami.

   Tika mencari di sekeliling ruangan yang terdiri dari kulkas-kulkas kecil. Aku pun demikian, karena aku tidak ingin bermutasi menjadi salah satu makhluk itu. Kutemukan sebuah botol kecil berukuran 3 mili liter, berisi cairan kuning di dalam kulkas dan itu adalah satu-satunya botol berisi cairan kuning.

   "Ini mungkin serumnya." Aku menengok kepada Tika.

   Perempuan itu tampak terduduk lemah bersandar di meja. Aku mencari suntikan. Kutemukan sebuah suntikan tergeletak di meja, entah bekas apa,ah..masa bodohlah.

   Aku ikut bersandar di samping Tika. Kemudian kusedot cairan dalam botol itu dengan suntikan.

   "Kita bagi dua." kataku.

   Kulihat keringat sebesar jagung mengalir di sekujur wajah perempuan manis itu. Urat-uratnya mulai terlihat menonjol di pipinya. Aku menyuntikkan serum kepada Tika. Kemudian kusuntikkan sisa serum itu ke diriku sendiri.

   Aku melempar suntikan yang sudah kosong itu, dan bersandar di rak di belakangku. Aku merasakan dadaku sakit sekali dan sulit untuk bernafas. Keringat juga membasahi wajah dan bajuku, bercampur dengan sisa cipratan darah dari makhluk-makhluk buas itu.

   Aku mencoba mengatur nafas. Kurasakan rasa sakit di dadaku berangsur-angsur menghilang.

   Mungkin benar kalau sebenarnya Om Iqbal sudah menemukan obat untuk melawan virus tersebut. Namun, nampaknya Om Iqbal dan teamnya berhasil menyembunyikan sisa serum dari tangan gerombolan Muti.
   Aku mulai dapat menghirup nafas panjang walaupun masih sedikit kurasakan sakit, namun tidak separah tadi. Kudengar nafas perempuan yang bersandar disebelahku ini juga mulai normal.

   "Toyib." kata Tika lemah. Tangan perempuan itu tiba-tiba menggamit tanganku.

Aku menengok ke perempuan itu. Mata kami beradu pandang. Melihat tatapan mata Tika tiba-tiba dadaku merasa bergejolak. Darahku mendesir.

   Kusadari, mata Tika yang tajam itu begitu indah dan begitu bening. Entah kenapa aku merasa wanita ini menarik hatiku. Kurasakan suatu dorongan dalam dadaku, kudekatkan wajahku dan kukecup bibirnya.

   Diluar dugaanku, Tika membalas kecupanku. Aku melepaskan bibirku dari bibirnya. Kening kami beradu, sehingga aku dapat merasakan bunyi desah nafasnya dekat sekali.

   "Telpon aku, kalau kita berhasil selamat." Tika berbisik.

   "Kita kencan nanti." kataku tersenyum kecil. Tika tertawa kecil sambil mengelus pipiku dengan kedua tangannya.

   Entah apa yang membuatku tiba-tiba jatuh cinta kepada perempuan ini di saat seperti ini. Tapi memang aku tidak memiliki pacar setelah putus setahun lalu. Kemungkinan saja, ini adalah saat terakhir dalam hidup kami, sehingga Aku dan Tika membiarkan semuanya mengalir begitu saja mengenai perasaan kami masing-masing. Kami kembali berpagutan bibir.

   Kucium keningnya, ketika kulepaskan pelukanku darinya. Kusadari saat ini tidak bisa terlalu jauh kami terlena dengan romantisme, karena saat ini kami berada dalam bahaya besar.

   "Kita harus lari dari desa ini." kataku.

   Tika mengangguk setuju. Kami pun bangkit dari tempat kami duduk. Kami merasa stamina kami sudah pulih.

Beranda

Blogger Template by Blogcrowds.