Novel Zombie Indonesia


18

JALAN KELUAR


   Aku mengintip keluar dari jendela yang ada di dalam ruangan itu. Sedangkan Tika memeriksa peluru di dalam pistolnya.

   "Kosong." kataku.

   "Tinggal dua." kata Tika sambil memasukkan clip pistol dan mengokangnya. Ia mengambil katana-nya yang tergeletak di meja.

   "Ayo!"

   Aku membuka pintu. Sambil menentang dua pedang katana, Aku mencari-cari jalan keluar. Sekarang aku tahu apa yang dirasakan oleh Miyamoto Musashi, ketika habis bertempur melawan 70 orang Ronin.

   "Tadi kita lewat pintu itu." Tika berkata sambil berlari ke kanan.

   Aku mengikuti ke arah perempuan itu pergi. Tika berusaha membuka pintu besi itu.

   "Terkunci." kata Tika.

AKu berlari memeriksa sekeliling. Menghampiri pintu-pintu tempat makhluk-makhluk itu keluar tadi. Hanya ada sel yang membatasi ruangan dibalik pintu itu.

   "Sial, kemana?" kataku.

   Aku merasa kami sudah terjebak di laboratorium ini.

   "Toyib, diatas ada pintu." Tika menunjuk keatas.

   Aku melihat tangga di dekat ruang server menuju pintu di atas. Kami segera berlari menaiki tangga ke arah pintu itu.

   Kudorong handle pintu yang menyerupai besi panjang melintang di pintu. Pintu besi ini cukup berat sehingga memerlukan tambahan dorongan dari badanku untuk membukanya. Pintu terbuka.

   Rupanya, yang kami masuki adalah pintu keluar alternatif. Kami melihat pohon-pohon disekeliling. Ada jalan setapak di depan kami. Aku melihat sekeliling menjaga kalau ada makhluk ganas itu di sekitar kami. Dari tempat kami berdiri tampak rumah-rumah penduduk. Kami berada di atas bukit. Pantas saja tinggi sekali tangga yang kami lalui sewaktu kami datang tadi.

   Terdengar suara kipas helicopter dari balik pepohonan yang dilalui jalan setapak.

   "Kayaknya mereka mau kabur." Tika berkata.

   Perempuan itu berlari menerobos jalan setapak. Kuikuti perempuan itu melalui jalan setapak yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar.

   Suara kipas helicopter terdengar semakin dekat. Sepertinya helicopter itu hendak mengudara. Tika mengarahkan pistolnya dan menembakkannya beberapa kali.

   Di ujung semak belukar ada lapangan kecil. Ditengah lapangan terlihat ada sebuah helicopter. Lapangan itu di penuhi debu dan asap berwarna merah yang tampaknya berasal dari flare* (*Flare : penanda asap). Kulihat tubuh Prita tergeletak di dekat helicopter, tewas diterjang peluru yang berasal dari pistol Tika.

   Muti yang sudah berada dalam helicopter membalas tembakan, ketika melihat temannya roboh. Tika melompat berguling ke samping, berlindung di belakang pohon. Reflek aku merunduk dan berlindung di pohon di dekatku.

   Helicopter itu bergerak naik. Muti menembak membabi buta dari pintu helicopter. Pistol Tika kehabisan peluru, sehingga Ia hanya bisa berlindung di balik pohon.

   "Percuma kalian lari. Virusnya akan kusebar lewat udara." Muti berteriak. Suaranya bercampur dengan bunyi baling-baling, tapi tetap dapat kudengar jelas.

   "Sial!" Tika mengumpat kesal. Wajahnya penuh emosi.

   Dari badan kiri helicopter yang mulai berjalan maju menjauh, terlihat asap hijau mengepul. Muti masih menembaki kami. Tampaknya dia sudah melepaskan virus itu dari helicopter.

   Tika berlari menuju tubuh Prita yang tergeletak di tengah lapangan. Kemudian dia berguling, mengambil senapan serbu di dekat mayat Prita.

   Tika melepaskan tembakan dari senapan ke arah helicopter. Beberapa tembakannya mengenai baling-baling belakang rotor helicopter. Ditembaknya lagi helicopter itu beberapa kali.

   Helicopter itu berputar-putar kehilangan keseimbangan. Kemudian mulai meluncur jatuh. Helicopter meluncur jatuh ke arah kaki bukit diantara perumahan di bawah sana. Jauh sekali dari tempat kami berdiri.

   "Kita kejar?" kataku mendekati Tika yang berdiri dengan nafas tidak teratur.

   "Kita pergi dari sini! Sudah pasti mereka mati atau berubah wujud, karena gas mengandung virus tersebut." Tika mengatur nafas.

   "Lagipula akan makin banyak yang bermutasi setelah gas itu jatuh di bawah perkampungan di sana."  tunjuk Tika.

   Ia kemudian membalikkan badan ke arahku.

   Mataku berkeliling mencari jalan keluar untuk menuruni bukit ini. Tampaknya tidak ada jalan lain. Selain hutan di sekeliling kami. Hanya ada satu jalan setapak tempat kami datang tadi.

   "Kayaknya terpaksa kita dobrak pintu tadi." kataku.

   Tika berjalan lebih cepat, sehingga Ia berada di depanku. Mungkin karena perbedaan kondisi fisik antara aku dan dia.

****
   Aku dan Tika mencongkel pintu laboratorium dengan potongan besi yang kuambil dari rak semi permanen yang mudah dilepas. Pintu terbuka kami masuk ke ruang penelitian yang dipenuhi alat laboratorium.

   Tika berhenti untuk memeriksa peluru di senapan yang di pegangnya.

   "Peluru khusus semua. Masih ada 15." katanya.

   "Coba tolong lihat apakah ada peluru sejenis di ruangan ini." Tika melanjutkan.

Aku mencari sekeliling ruangan dan tidak kutemukan satupun peluru seperti yang di maksud Tika.

   "Tidak ada." kataku.

   "Sudahlah." Tika berkata sambil menghela nafas. "Kalau begitu, ayo kita keluar!"

   Kami keluar dari ruangan dan berlari melintasi lorong yang terdapat pintu-pintu ruang kerja. Makhluk-makhluk di dalam sel itu tampak sudah keluar dari kurungan. Pintu ruangan tertutup, sehingga mereka terkurung di dalam ruangan kaca.

   Kami membuka pintu besi di depan. Tampak tangga putar turun ke bawah jauh sekali. Tika dan aku berlari menuruni tangga itu. Jauh sekali tangga turun entah berapa meter.

   Melewati lorong gua dengan rangka besi sebagai penopang. Ternyata lorong lembab ini Jalannya menurun. Pantas saja waktu datang tadi langkahku semakin lama semakin berat sewaktu melintasi lorong ini. Sebuah tangga tampak di hadapan kami.

   Kami membuka pintu besi ketika sampai di ujung atas tangga ini.
   Kulihat tumpukan karung dan jerami disekeliling ruangan, ketika kami keluar.

"Tampaknya ini lumbung." kata Tika. Aku tidak menyimak kata-katanya, karena sedang menutup pintu besi tempat kami keluar tadi.

   Tika mengintip melalui sela-sela papan kayu yang menjadi tembok lumbung ini. Aku memeriksa pintu lumbung. Kulihat kunci lumbung masih bergantung. Kuputar dan kubuka pintunya. 

   Aku melihat sekeliling lumbung. Sawah menghampar disekeliling kiri dan kanan kami. Ada satu jalan besar di depan kami yang menghubungkan lumbung dengan jalan aspal desa. Bagian belakang lumbung berbatasan dengan kaki bukit terjal yang ditumbuhi semak dan pepohonan lebat. Dipuncak bukit itu tampaknya letak laboratorium, tempat tadi kami berada. Dari tempat kami berdiri, diantara sawah dan kerimbunan pohon di seberangnya kulihat bangunan rumah di kejauhan yang tampak kukenal, yaitu rumah Om Iqbal. Rupanya ini adalah lumbung yang kulihat tadi padi dari sawah di sekitar rumah Om Iqbal.

   "Kita ke rumah sana." kataku.

   "Kenapa kita tidak lewat jalan desa didepan?" Tika menujuk jalan di depan kami.

   "Disana ada banyak kendaraan. Lagipula kata kamu polisi masih bertahan di sana?" kataku.

   “Darimana kamu tahu?” ujarnya.

   “Itu rumah pamanku.”

   Tika terdiam berfikir. Sepertinya Tika ragu. Aku menarik lengan perempuan itu, menuntunnya menuju sawah. Tika menepiskan tanganku, namun tetap mengikutiku menuruni lereng kecil menuju sawah.

   Tidak ada tanda kehadiran makhluk mengerikan itu disekitar kami. Tetapi kami tetap waspada, mungkin makhluk-makhluk itu berada disekitar area rumah paman.

   Jauh sekali jarak antara rumah paman dan lumbung padi ini, itu sebabnya tadi pagi kuhentikan niatku mengunjungi lumbung padi. Kami berusaha mengimbangi tubuh kami saat melintasi pematang-pematang sawah.

   Satu pertanyaan yang masih mengganjal di benakku, adalah mengenai orang-orang yang tadi pagi kulihat di sekitar lumbung dan sawah dari kejauhan. Kemana mereka? Apakah mereka adalah makhluk-makhluk yang menjaga area lumbung ini? atau mungkin saja, mereka orang-orang organisasi yang diceritakan Muti? Tampaknya pertanyaanku ini tidak ada jawabannya, karena ketika sampai area yang membatasi sawah dan kebun rumah pamanku, terlihat dua Makhluk menyeramkan berdiri di hadapan kami. Seakan hendak menyambut kedatangan kami.

   Aku segera mengayunkan katana di tanganku. Makhluk yang berdiri di hadapanku, ketika makhluk itu berlari ke arah kami. Langkah makhluk itu berhenti, ketika pedangku menembus tepat di bagian perutnya. Kuputar gagang katana dan menebas kekanan. Tubuh makhluk dihadapanku terpisah antara badan dengan kakinya.

   Terdengar suara tembakan dari belakangku menggema di seantero sawah. Makhluk satu lagi dihadapanku jatuh terjungkal. Tubuhnya menghempas ke padi-padi yang di sawah. Tubuh makhluk itu mengejang-ngejang sebentar kemudian diam tak bergerak. Kulihat peluru seperti buah 'dart' menempel di kepala makhluk itu.

Tika sedang mengarahkan senapannya, ketika aku menengok kebelakang.

   "Kenapa ditembak?!" kataku. "Mereka sensitif dengan suara."

   "Maaf, Reflek." Tika tampak gugup. tiba-tiba Tika menunjuk. 

"Itu!"

   Aku melihat makhluk yang tadi kuhadapi, sedang menarik celana panjangku dengan tangannya. Memang makhluk itu belum mati walau sudah terpisah antara badan dan kakinya. Aku menusukkan katana menghantam ke leher makhluk itu, sebelum sempat ia menggigitku.

   Terdengar suara-suara raungan di depan kami yang berasal dari halaman rumah Om Iqbal.

   "Tuh,kan. Sebentar lagi teman-temannya pasti ke sini." kataku.

   "Jadi bagaimana?" tanya Tika.

   "Kita lari menuju pintu dapur. Jangan ditembak!"

Kulihat Tika memutar sling sehingga kini senapan berada di belakang punggungnya. Ia mencabut katana yang tergantung di pinggang.

   Kupikir, mungkin Tika sudah tidak bisa berfikir jernih lagi setelah peristiwa yang kami lalui. Wajar saja, dia kan wanita yang lebih bisa merasakan dan hanya mengedepankan emosi, dibanding pria sepertiku yang masih bisa berfikiran logis.

   Kami berlari menerobos kebun singkong. Makhluk-makhluk itu mengejar kami, mereka muncul dari kanan dan kiri. Kulihat pintu menuju dapur tidak tertutup.

   "Sedikit lagi!" aku berteriak.

   Kuhujamkan katana di tanganku kepada makhluk yang tiba-tiba berada di depan pintu dapur. Kudorong makhluk itu dengan katana yang masih menancap di dadanya.

   "Tutup!" kataku.

   Terdengar suara pintu dibanting keras.

   Aku menendang makhluk di depanku dan menebas lehernya. Suara tembakan menggema di ruangan dua kali. Kulihat dua makhluk yang hendak menyerangku roboh rupanya Tika menembaknya. Ketiga makhluk di depanku ini semua berpakaian polisi.

   Perempuan itu tampak menahan pintu dengan badannya, sambil mengarahkan senapan ke arah pintu dalam. Aku mendorong meja yang terguling di hadapan kami. Tika menyingkir dari pintu sehingga meja tersebut bisa menahan pintu dari gebrakan makhluk-makhluk di luar sana. Suara pintu berdebum-debum di gebrak dan dobrak dari luar.

   Tampaknya ada yang keluar dari rumah ini, setelah mengetahui semua polisi bermutasi, itu sebabnya meja tersebut terguling di dekat pintu, akibat didorong secara asal, karena terburu-buru.

   Wajah Tika tampak shock, karena ia tahu kedua makhluk yang di tembaknya adalah mutasi rekannya, sesama polisi dari Polres Ciamis.

   Kami menoleh ke pintu, mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat. Kami melihat polisi-polisi yang sudah bermutasi keluar dari pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang dalam.

Beranda

Blogger Template by Blogcrowds.