MASSACRE NOVEL
13
RAHASIA LAIN
Kami mengendap-endap mendekati pintu belakang rumah ini. Tidak tampak ada
tanda-tanda makhluk tersebut di sekitar kami. Sepertinya semua makhluk itu
pergi ke arah asal suara tembakan yang kini sudah tidak terdengar lagi. Suasana
sekitar rumah tampak hening dan senyap.
Ragil
mengintip melalui jendela untuk melihat keadaan di dalam; Sedangkan Tika bersiaga
di samping pintu belakang; Aku bersiaga di belakang Tika. Ragil berjingkat
menghampiri kami sambil mengangguk, memberi tanda kalau keadaan di dalam aman.
Ragil meraih gagang pintu. "Siap?"
katanya kepada Tika. Tika mengangguk.
Pintu
perlahan dibuka, Tika segera masuk ke dalam disusul oleh Ragil. Sama
seperti rumah lain di desa ini, pintu tersebut terhubung dengan dapur. Kami
memasuki dapur yang kosong dan berantakan.
Tika
memberi tanda berhenti kepada kami. Di depan kami tergeletak makhluk dengan
kaki terpotong di ujung pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan dapur.
Makhluk itu terlihat masih hidup.
Tika
meletakkan jari telunjuknya di bibir, tanda supaya kami diam, karena takut kalau masih
ada makhluk sejenis di dalam rumah.
Mata
makhluk yang tergeletak di depan pintu itu tampak merah. Sedangkan sama seperti makhluk
yang lain, kulit tubuhnya keriput dan kering. Gigi makhluk itu
sebagian tanggal dan menghitam. Melihat kami masuk, makhluk itu
menggapai-gapai dengan tangannya, mencoba merangkak menghampiri kami.
Tika
menghujamkan goloknya ke leher makhluk itu dari samping. Sehingga kepala makhluk
itu lepas dari badannya. Cairan hijau dan hitam menggenangi lantai keluar dari leher
makhluk itu.
Kupikir, sadis
juga wanita ini tanpa banyak berkata langsung membunuh makhluk itu. Kulihat gadis itu menghela nafas, wajah gadis itu masih tampak tegang.
Ragil berjalan melewati pintu ruang yang
menghubungkan dapur dengan ruangan lainnya. Aku mengikutinya. Kulihat ruangan
tengah rumah ini sudah berantakan. Kami menjumpai tubuh makhluk buas itu
bertebaran di dalam ruangan. Tubuh semua makhluk itu sudah diam tidak bergerak.
"Mereka
semua mati?" tanyaku berbisik.
"Sstt..."
Ragil menyuruhku diam.
Tentara itu berjalan berjingkat-jingkat
mendekati tubuh-tubuh yang berserakan itu. Aku dan Tika menyusul di belakang
mengikutinya. Tangan kanan Ragil menunjuk ke kanan.
Aku mengikuti arah yang ditunjukkannya itu. Sebuah
sapu ijuk tergeletak di lantai. Aku segera berinisiatif mengambil sapu itu.
Ragil menunjuk ke arah tubuh makhluk-makhluk yang tergeletak di depannya.
Aku
tahu maksudnya, kalau Ragil menyuruhku mengecek tubuh makhluk itu. Dengan
menggunakan sapu, aku mendorong kepala dan leher makhluk itu. Makhluk itu diam
tidak bergerak. Kusorongkan gagang sapu mendorong tangan dan kaki makhluk itu,
tapi tetap saja tidak bergerak. Ragil menyuruhku untuk melakukan hal yang sama
dengan makhluk-makhluk lain.
Aku
pun melangkah maju. Kuatir juga kalau tiba-tiba mereka semua bangun dan
menyerang kami. Sudah pasti, kami akan kewalahan menghadapi makhluk yang kuhitung
kurang lebih sekitar 15 orang. Makhluk yang berasal dari hasil mutasi manusia.
Tapi
sebenarnya memang sejak meninggalkan balai desa tadi aku sudah pasrah, kalau
harus mati di desa ini memang sudah menjadi nasib.
Aku
melakukan hal yang sama terhadap keseluruhan tubuh makhluk yang bergeletakan di
ruangan berantakan itu. Semua makhluk itu sudah tidak bergerak.
"Tampaknya
mereka semua dibunuh dengan ini." Suara Tika mengagetkanku. Aku menoleh ke
arahnya.
Kulihat
Tika ,sambil menyibakkan rambut yang menutupi sebagian
matanya, ia berjongkok
di hadapan makhluk yang pertama kali kuperiksa. Dia menunjukkan sebuah benda
menyerupai buah 'dart' yang tampaknya diambilnya dari tubuh makhluk itu. Memang
sedari tadi aku sudah melihat benda serupa menempel di semua tubuh
makhluk-makhluk itu.
"Ini
peluru bius." kata Tika. "Apakah mereka semua pingsan?"
Ragil berjongkok memeriksa salah satu makhluk
dihadapannya.
"Yang
ini mati." kata Ragil.
Tika pun mencoba melakukan hal yang sama
dengan makhluk lainnya. Begitupun Aku dan Ragil.
"Iya
yang ini juga mati." kata Tika sambil masih terus melakukan check ke tubuh
makhluk lainnya.
Ragil
mendobrak pintu yang terlihat di sebelah kiri
dari tempat kami datang tadi, setelah kami selesai memastikan makhluk-makhluk itu tidak
bergerak.
Pintu
terbuka. Aku melihat sosok gemuk berpakaian hansip tergeletak di
dalamnya dengan darah berceceran di sekitarnya. Kuduga, itu pasti hansip bernama
Rizky. Entah kenapa dia sendirian berada di dalam ruangan itu.
Dengan
berlahan kami memasuki ruangan itu. Terlihat alat elektronik beraneka macam, di meja kayu yang kuduga adalah pemancar. Di sekeliling ruangan
tampak monitor-monitor LCD yang menampilkan gambar suasana sekeliling desa, yang
diambil dari kamera-kamera CCTV. Ada kursi yang sudah terguling. Sebuah
senapan serbu tergeletak di samping tubuh hansip gemuk itu.
Aku
memperhatikan layar-layar LCD itu. Pantas saja, Ijal dan Muti tiba-tiba bisa
mengetahui keberadaanku waktu di bengkel pandai besi, karena Rupanya salah satu
CCTV itu menyorot jalan sekitar bengkel pandai besi.
Aku
segera mengalihkan pandanganku ke hansip gemuk yang tergeletak di hadapanku. Rizky masih hidup. Tangan
kiri pria itu tampak koyak dan mengalirkan darah membasahi lantai. Nafas hansip
itu terengah-tengah ketika melihat kami datang.
Aku
segera berjongkok di hadapan Rizky, begitu mengetahui kondisi pria itu. Tika
juga berjongkok. Sedangkan Ragil menghampiri meja tempat peralatan elektronik
itu berada.
"Kalian
pergilah dari sini!" suara Rizki tersendak. Kulit tubuh pria itu tampak
memerah seperti orang terkena campak dan wajahnya keringetan.
"Apa
yang terjadi, Kang?" tanyaku.
"Pergilah.
Sebelum mereka datang, menangkap kalian." kata Rizky dengan
suara tercekat. "Bunuh aku! Aku terinfeksi."
"Infeksi?"
tanyaku. Aku melihat tangan kiri lelaki itu yang koyak dan mengeluarkan darah.
"Sebenarnya
ada apa?" tanyaku penasaran.
"Laboratorium
di ..." Rizky terbatuk. Wajah pria itu berlahan memucat. "Dekat
sawah."
"Lumbung
mana? Sawah mana?" kataku.
"Iqbal...."
Rizky tidak melanjutkan kata-katanya. Karena tiba-tiba suaranya tersendak, dan ia
memegangi leher dengan tangan kanannya. Tubuh gemuk pria itu kelojotan tidak
karuan. Mata pria itu melotot dan berwarna merah seperti darah dibagian
putihnya.
"Minggir!
Dia akan berubah." Tika berteriak kepadaku.
Aku pun segera beringsut mundur menjaga jarak, sambil
melihat pria itu kelojotan.
Tiba-tiba
Ragil menghujamkan pisau komandonya ke leher pria itu. Dengan sadis, memotong
leher pria itu seolah tanpa perasaan.
Gila!
tidak hanya Tika dan bahkan tidak Ragil. Kedua orang ini tampaknya sudah mulai
kehilangan rasa teganya. Tanpa segan atau tega dengan enaknya memotong kepala
orang ataupun makhluk itu. Aku membuang pandanganku dari kejadian sadis di
depan mataku.
"Radionya
tidak berfungsi." Kata Ragil kemudian. Menunjuk
ke meja, dengan pisau yang masih berlumuran darah sehabis membunuh hansip gemuk
itu.
Tika menghampiri alat elektronik di meja itu.
"Tampaknya
ini bukan perangkat radio komunikasi." kata Tika.
“Yang ini pengacak signal, pantas semua alat komunikasi
tidak berfungsi.” Tika melanjutkan sambil tangannya menunjuk sebuah alat.
"Apakah
pemancarnya bisa dihubungkan dengan radio milik dia." kataku sambil menunjuk
Ragil.
Ragil
memberikan radio yang tergantung di dadanya kepadaku dengan tangannya yang berlumuran
darah. Aku pun menerimanya dengan perasaan jijik. Akupun menghampiri meja tersebut
untuk melihat peralatan elektronik itu.
Sebagai
teknisi aku memang sedikit mengerti elektronik, karena memang itu yang
pernah kupelajari waktu di akademi.
Aku
melepaskan kabel yang menyambung dengan sebuah alat. Alat itu tampak rusak karena
dipukul oleh benda tumpul. Bagian komponen didalamnya tampak hancur. Entah alat
apa itu.
Kemudian
kabel itu kuhubungkan dengan radio di tanganku. Aku menyalakan radio
genggam di tanganku. Terdengar bunyi noise signal dari speaker radio.
"Harus di
kalibrasi dulu sinyalnya." Kataku, sambil kuputar putar toggle
untuk mencari frekuensi.
Tika
berdiri membelakangiku memperhatikan layar LCD. Ia
mengutak-atik alat kontrol di meja, sepertinya ia ingin mengetahui nasib kesatuannya melalui kamera cctv.
"Mereka
sepertinya masih hidup dan bertahan di dalam rumah." Kata Tika.
Aku
menengok dan melihat Tika menunjuk gambar di monitor yang memperlihatkan
suasana halaman depan rumah paman yang di penuhi makhluk-makhluk haus darah
itu. Ragil berdiri dibelakang Tika.
Aku
kembali untuk fokus mencari frekuensi kepada alat komunikasi di genggamanku
ini.
DOR!.
Kami
dikagetkan suara tembakan memekakkan telinga di ruangan kecil
ini.
Hampir
Aku menjatuhkan radio ditanganku. Aku menengok ke belakang. Kulihat kepala
Ragil koyak di bagian batok kepalanya. Matanya melotot ke arah kami. Tubuh
tentara berpangkat letnan itu ambruk ke lantai, bersimbah darah yang
mengalir dari batok kepalanya yang pecah.
Muti
berdiri di depan pintu sambil mengarahkan pistol ke arah kami. Dibelakang Muti, berdiri
Irdi sambil mengarahkan senapan serbu ke arah kami.
"Rupanya
kalian disini.” kata Muti kepada kami sambil tersenyum jahat.
“Masih penasaran?"
Langganan:
Postingan (Atom)