MASSACRE NOVEL
14
PERJALANAN
Muti
dan Irdi masih mengarahkan senjatanya ke Aku dan Tika. Muti
masih mengenakan pakaian yang dikenakannya tadi pagi, sedangkan Irdi masih dengan
pakaian hansipnya tapi kali ini dengan sebuah pedang katana menggantung di
pinggangnya.
Letnan Ragil sudah tergeletak tidak bernyawa di hadapan kami.
"Potong kepala tentara itu supaya tidak
hidup lagi!" perintah Muti kepada Irdi yang berdiri di belakang kirinya.
Irdi
mengeluarkan pedang katana yang tergantung di pinggangnya. Kemudian, ia
bersiap hendak memotong kepala Ragil. Aku dan Tika terpejam ngeri melihat
pemandangan itu.
"Si
Gendut sudah di bunuh sama tentara ini." Irdi berkata sambil memegang
pedang berlumuran darah di tangannya.
"Hanya gara-gara cintanya kutolak, si bodoh ini membocorkan operasi
rahasia kita. Sekarang WHO sudah tahu dan pasti pemerintah Indonesia juga akan
bertindak." Muti berkata.
Sial,
apa yang Muti katakan tadi? Mengenai WHO dan pemerintah Indonesia. Mereka
ternyata tidak berhubungan dengan organisasi milik PBB tersebut. Sebenarnya
siapa mereka ini?
"Ikat
mereka! kita pergi dari tempat ini." kata Muti.
"Bukankah,
lebih baik kita bunuh mereka." Ujar Irdi.
"Ide
bagus. Hmm..tunggu!" Muti terdiam.
Kulirik wajah Tika yang tampak sudah pasrah.
Kutengok ke arah tempat Muti berdiri.
"Jangan
kita butuh mereka. Kita membutuhkan umpan untuk makhluk-makhluk itu. Kita bisa
bunuh nanti saja di markas."
"Tapi
kita sudah punya peluru ini untuk menghadapi makhluk-makhluk itu." kata
Irdi.
"Hemat
peluru-mu! Persediaan kita sangat terbatas. Cepat ikat!" sekali lagi Muti memerintahkan
Irdi.
"Gak
ada borgol, Nyah." kata Irdi.
"Cari
tali! Banyak alasan,dasar malas!" Muti membentak.
Irdi keluar ruangan dan tak lama kemudian ia
kembali membawa tali tambang.
"Kalian
hadap ke belakang dan tangan di belakang!" kata Muti menyuruh.
Aku
dan Tika menuruti perintah Muti untuk menghadap belakang. Selain penasaran
untuk mengorek informasi dari Muti, kupikir percuma juga kalau kami melawan
maka hasilnya sama saja.
Kang
Irdi mengikat kedua tangan kami dengan erat. Pertama Ia mengikatku,
kemudian mengikat Tika. Juga ia mengambil pistol yang
terselip di pinggang Tika.
"Ini
pakaikan di kepala!" kata Muti.
Tiba-tiba
aku merasa gelap, ketika Irdi menutup kepala kami dengan plastik kresek
warna hitam. Nafasku mendadak sesak, karena agak sulit
bernafas dari balik plastik.
"Sudah?
Ayo kita kembali. Biarkan mereka jalan di depan!" kata Muti.
Badanku
ditarik dan didorong. Aku berjalan sesuai tuntunan Muti yang menaruh tangannya
di bahuku.
"Bangsat!
Kurang ajar!" Suara Tika terdengar. Kudengar suara Irdi tertawa terkekeh.
Kuduga hansip tua itu melakukan hal tidak senonoh kepada Tika.
"Cepat!
Jangan banyak bercanda!." Suara Muti terdengar di belakangku.
Beberapa
kali aku hampir jatuh tersandung akar pohon yang menyembul dari
tanah. Tampaknya, kami melewati jalan tanah setapak diantara pepohonan dan
rerumputan.
Aku
mendengar lagi suara letusan kali ini tidak begitu jauh. Kuduga, Kami sedang
mendekati tempat para polisi yang tersisa itu berada, yaitu di rumah pamanku.
"Kita
harus menghindari mereka." terdengar suara Irdi.
"Kita
putar ke kiri." kata Muti.
"Kita
bawa orang ini buat apa?" Irdi bertanya lagi.
"Setidaknya
kalau mereka mengejar kita punya umpan segar." Muti menjawab.
Sial! Semoga tidak terjadi, karena bisa kubayangkan
betapa mengerikan kalau tubuhku akan di cabik makhluk-makhluk itu dalam
kondisi hidup-hidup.
Muti
mendorongku supaya jalan lebih cepat. Aku merasakan kakiku menapak jalan aspal
desa dan berjalan sepanjang jalan aspal. Kemudian kurasakan kami
berbelok memasuki jalan berbatu. Aku merasakan kakiku terkena cipratan lumpur dri kubangan tanah, ketika memasuki jalan tanah lagi.
Lama
kami berjalan sampai kemudian aku merasakan menginjak lantai semen. Kami
berhenti. Kudengar suara pintu dibuka.
Muti
kembali mendorongku. Kuduga kami memasuki sebuah rumah atau ruangan. Terdengar
dibelakangku suara pintu di kunci dan suara kayu dan besi beradu. Kemudian
kudengar suara pintu besi dibuka di depan kami.
"Tuntun
mereka! hati-hati tangga." terdengar suara Muti.
"Hati-hati,
Neng." terdengar suara Irdi.
"Sialan!
Jangan pegang situ! Bangsat!" Tika membentak.
Suara
hansip tua itu terkekeh lagi. Tampaknya hansip tua genit itu tidak
menyia-nyiakan kesempatan untuk berbuat tidak senonoh terhadap perempuan yang
sedang tidak berdaya.
Aku
perlahan menuruni tangga dengan tuntunan Muti. Setelah anak tangga terakhir,
Aku mendengar suara pintu besi tertutup di atas kami. Kemudian, Muti
kembali mendorongku untuk berjalan.
Aku
merasakan kakiku berjalan melewati jalan tanah lembab. Kuduga kami melewati
terowongan bawah tanah bekas peninggalan Jepang, seperti yang tertulis di
surat Dr.Helen.
Cukup
jauh juga kurasakan kami berjalan melintasi terowongan bawah tanah
itu. Aku merasakan kaki ku pegal. Nafasku berat akibat tertutup plastik kresek.
Kami berhenti.
"Awas
tangga." terdengar suara Irdi di depan.
Aku
perlahan-lahan menaiki tangga. Entah berapa anak tangga, rasanya tinggi sekali.
Kakiku mulai pegal. Agak sulit menarik nafas dibalik kantong kresek ini.
Sesampainya kami di anak tangga paling atas, kudengar suara pintu besi
terbuka di depan kami. Ijal mendorongku untuk kembali berjalan.
Setelah
kudengar pintu besi tertutup. Aku akhirnya bisa menarik nafas panjang, ketika
plastik yang menutupi mukaku dibuka.
Aku
bisa melihat sebuah ruangan besar yang terang oleh cahaya lampu neon putih. Ruangan
besar itu terdapat ruangan-ruangan kecil di sekelilingnya yang tampaknya
digunakan sebagai kantor dan juga penyimpanan. Juga terdapat
sel-sel kecil di dalam ruangan-ruangan itu, yang berisi
makhluk-makhluk mengerikan tersebut di setiap sel nya.
Kami
berjalan melintasi sel-sel tersebut. Kulihat makhluk-makhluk itu segera
menggapai-gapai tangannya melewati kisi-kisi sel,
ketika melihat kami melintas.
"Mereka
adalah spesimen yang ditangkap dan dikumpulkan oleh Sovyet dan Indonesia sejak
40 tahun lalu." Muti menjelaskan kepada kami.
Irdi
membuka pintu besi di depan kami dengan menggunakan kartu yang diambil dari sakunya.
Aku dan Tika di dorong masuk ke ruangan yang lebih besar lagi.
Didalam
ruangan tersebut luas sekali. Ada banyak peralatan laboratorium dari mulai
gelas reaksi, mikroskop, pembuat vaksin, tabung-tabung reaksi, tabung-tabung
gas panjang yang entah berisi apa. Juga kulihat entah apa lagi alat-alat yang
tidak kukenal. Seorang bule tampak berdiri sedang memasukkan botol-botol berisi
cairan ke dalam kotak-kotak yang ditumpuk di meja.
Kulihat
juga seorang perempuan yang pernah kutemui di balai desa sedang duduk di
kursinya. Perempuan itu sudah tidak mengenakan jilbabnya lagi, hanya kain
mukena saja yang membelit lehernya. Ia mengenakan kaos
hijau dan celana bahan hitam. Kulihat sebuah senapan serbu dipangkuannya. Sepertinya, Ia bertugas
mengawasi kerja orang bule itu.
"Selamat
datang ini adalah fasilitas riset milik WHO. Maksudku bekas milik WHO."
Muti menjelaskan ruangan tempat kami berdiri.
Muti melanjutkan. "Ini
adalah laboratorium utama. Yang dibawah rumah itu hanya laboratorium tambahan.
Sehingga para ahli tidak perlu mondar-mandir dari rumah mess ke pusat riset, hanya
untuk mengambil sedikit sampel."
"Itu
Prita" Muti menunjuk wanita yang duduk. "Yang itu Ricardo." Muti
menunjuk bule yang sedang memasukkan botol-botol ke kotak.
"Apa
maksudnya membawa kami kesini?" tanyaku.
"Kan
sudah kubilang untuk umpan. Karena tidak jadi untuk umpan, maka makhluk-makhluk
di sel itu juga butuh makan sebelum kami pergi." Muti berkata sambil
tersenyum kemudian memalingkan muka ke arah bule bernama Ricardo itu.
"How?
(terjemahan : bagaimana)" tanya Muti.
"Almost
ready, this is the last compartment.( terjemahan : Saya hampir siap, ini adalah
kotak terakhir.)" Bule itu berkata.
"Hurry,
we don't have time! Have you been copying all the files? (terjemahan: Cepat,
kita tidak punya waktu! Apakah kamu sudah salin semua filenya?)" Muti
membentak.
"Haven't
yet. (belum)" Bule itu tampak gugup.
"What've
you done since three hour ago? Are you trying to wasting our time. (Apa yang
kamu sudah lakukan selama tiga jam? Apa kamu mencoba mengulur waktu?)"
Muti berkata sambil menghampiri bule itu.
Muti menodongkan pistolnya kepada bule itu.
"No..No
dont. I'll do it after this.
(terjemahan: jangan-jangan.
Aku akan melakukan setelah ini." jawab Bule itu ketakutan. "I promise
it will not be long. (terjemahan : Aku janji tidak akan lama.)"
"THEN
DO IT, NOW! (terjemahan : lakukan sekarang!)" Muti membentak. "We
must leave from this place, soon! (terjemahan: Kita harus
meninggalkan tempat ini segera.)"
Wajah bule itu pucat pasi ketakutan. Ia
buru-buru memasukkan box terakhir berisi botol-botol cairan berwarna biru ke
dalam kotak plastik. Kemudian, ia berjalan menuju pintu di
depan kami.
"Wait!
we will go together. (terjemahan: Tunggu! kita pergi
bersama.)"
kata Muti dingin. Bule itu segera menghentikan langkah sebelum sampai pintu.
"Prita
tolong bawa semua compartement (kotak) ke zona biru! Aku mau mengawasi dia dulu."
Muti berjalan ke arah tempat Ricardo berdiri.
"Kalian
ikut aku!" katanya sambil memberikan isyarat agar kami mengikutinya.
Irdi
segera mendorong punggungku. Ia juga mendorong pundak Tika. Sedangkan perempuan
bernama Prita itu segera mengangkat kotak-kotak plastik yang ditumpuk di
atas dan dibawah meja.
Kami
berjalan mengikuti Muti dan Ricardo menuju pintu lain di depan kami.
Dibalik
pintu tersebut ada sebuah ruangan besar, seperti hanggar.
sepertinya bekas gudang tentara Jepang dulu. Ruangan tersebut berisi
dengan meja-meja dan beberapa komputer. Juga terdapat tiga buah ranjang pasien
di pinggir ruangan tersebut. Juga banyak peralatan kedokteran canggih lainnya
yang tidak kukenal namanya. Tampaknya, ruangan tersebut di buat
untuk melakukan observasi. di pinggir sisi sepanjang ruangan terdapat lima buah
pintu besi lain. Diujung ruangan tampak tangga yang
menghubungkan balkon, yang terdapat pintu besi juga di atasnya.
Kami
menuruni tangga besi menuju ruangan besar itu. Kami berjalan melintasi ruangan menuju
salah satu pintu besi.
Pintu
besi dibuka tampaklah tiga baris rak komputer berukuran besar yang tampaknya
digunakan sebagai server. Ruangan itu dingin sekali ketika kami memasukinya.
Tembok-tembok ruangan tampak LCD yang memonitor sistem berjejer.
Irdi
mendorongku dengan kaki sehingga jatuh terjerembab di lantai ruangan itu.
Demikian juga dilakukan hal yang sama kepada Tika.
"Aduh."
Tika mengaduh ketika kepalanya kejeduk rak besi hitam tempat server berada.
Aku
memperbaiki posisi untuk duduk. Kulihat Tika juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba
Irdi menyepak kakinya, mendarat tepat di perutku ketika aku hendak bangkit.
Sakit
sekali rasanya ketika perutku dihantam sepatu larsnya. Aku merasa ingin muntah.
Nafasku pun langsung sesak. Aku batuk-batuk. Aku segera bangkit dan bersandar
di rak besi itu, mencoba mengambil nafas. Tika merasakan hal yang sama seperti
yang kurasakan setelah di tendang oleh Irdi. Mulut gadis itu menyumpah-nyumpah
kasar.
"Teteh
Muti, Aku ingin penjelasan sebenarnya dari semua ini." Aku meminta dengan
nada sopan untuk memohon kepada tanteku itu.
Tentu saja nada sopan diperlukan sebab kalau menggunakan emosi, maka bukan
penjelasan yang kudapat, melainkan hanya tendangan lagi yang kuterima.
Muti
menoleh kepadaku.
"Awasi
Ricardo! Aku mau bicara dengan keponakanku yang sok ingin tahu ini." Kata
Muti.
Irdi hanya mengangguk dan
bertukar posisi berdiri di belakang Ricardo yang sedang berada di depan layar
console komputer.
Muti
berjalan mengambil kursi geser yang berada di pojok ruangan.
Sebenarnya
Aku merasakan rak besi tempatku bersandar terdapat bagian tajam menyembul di
dekat tanganku. Untuk mengulur waktu maka Aku meminta Muti untuk bercerita.
Ternyata permintaanku dengan sopan berhasil
mengalihkan perhatiannya.
Aku
mulai mengatur posisi agar bisa memotong tali yang mengikatku dengan ujung besi
itu tanpa di curigai.
Langganan:
Postingan (Atom)