Novel Zombie Indonesia


22

BATAS

   Aku bersandar di pohon besar. Nafasku tersengal-sengal terasa di dadaku jantungku seakan berdetak kencang seperti berasa mau pecah.

   Walaupun tiap pagi sebagai polisi kami berlatih fisik, namun sebagai manusia tentu saja memiliki batas. Apalagi ditambah dengan darah yang mengalir di sekujur lengan dan lututku dari luka akibat jatuh dari motor.

   Aku sudah keluar dari desa Gebang. Berlari menyusuri hutan yang membatasi desa tersebut, dengan desa lain di sebelah selatan. Jarak yang jauh, serta medan yang perbukitan memaksa tubuhku bergerak ekstra keras. Ditambah kejaran makhluk dibelakang, juga harus menghindari makhluk yang kutemui di sepanjang jalan.

   Fisikku sudah terlalu lelah. Apalagi setelah bertarung menghadapi Toyib yang sudah berubah menjadi makhluk mengerikan. Ditambah berlari dari kejaran makhluk-makhluk ganas yang tidak ada habisnya, yang entah datang darimana. Kuduga, makhluk-makhluk ini adalah penduduk desa sebelah yang juga sudah ikut bermutasi, akibat ulah Muti yang telah menyebarkan virus lewat udara.

   Makhluk yang sedari tadi mengejar dekat dibelakangku berlari mendekat. Aku menebaskan pisauku yang sudah berlumuran darah sekenanya ke badan makhluk itu.

   Aku sudah tidak kuat memegang pisau ini. Aku sudah lelah. Tidak bisa berlari lagi.

   Apalagi rasa kehilangan Toyib yang kurasakan menambah beban tersendiri dalam batinku. Lelaki yang walaupun baru kukenal, tapi sudah sanggup mencuri hatiku sepenuhnya, dan sudah mati mengenaskan di tanganku.

   Makhluk yang kutebas badannya tadi berdiri, dengan tangan yang sudah menggelayut mau putus dari lengannya. Ia menyerang lagi. Aku menebas leher makhluk itu dengan sisa-sisa tenagaku yang masih ada. Kepala makhluk itu lepas dari tubuhnya, berguling-guling di tanah.
   Aku kembali menyandarkan diri di pohon. Kulihat makhluk-makhluk lainnya mendekatiku dari berbagai arah dari kejauhan. Langkah-langkah makhluk-makhluk itu semakin cepat, ketika mendekatiku.

   Aku menyorongkan pisauku ke depan. Aku mulai merasakan pandanganku melayang-layang, tanda kalau fisikku sudah sampai melebihi batas maksimalku. Kusabetkan pisau itu ke kiri dan kanan, berharap jika makhluk-makhluk itu sudah mendekat bisa mengenai mereka.

   Terdengar suara rentetan tembakan dari sampingku. Membuatku tersentak kaget. Makhluk-makhluk di hadapanku jatuh bertumbangan satu- persatu.

   Kulihat dari sampingku muncul pasukan berpakaian loreng-loreng lengkap dengan helm dan peralatan tempur. Tampak pula ada beberapa yang berpakaian polisi diantara mereka. Semuanya membidikan senapan SS1-nya dengan single shot ke arah makhluk-makhluk tersebut sambil bergerak maju. Mereka semua memakai masker oksigen.

   Orang-orang berpakaian kuning yang menutupi seluruh badan muncul dari samping kiriku. Di punggung mereka tampak tabung-tabung gas panjang. Orang-orang berpakaian kuning itu mendekati makhluk-makhluk yang sedang berusaha bangun setelah jatuh ditembak. Mereka pun menyemprotkan gas dari alat penyembur ke arah makhluk-makhluk itu.

   Makhluk-makhluk itu Kembali berjatuhan ketika terkena gas yang keluar dari alat penyembur di tangan orang-orang berpakaian kuning itu. Kuduga itu adalah gas sarin, yang di semprotkan oleh orang-orang itu.

   Aku terkulai lemas dan jatuh terduduk bersandar pada pohon di belakangku. Mataku berputar-putar. Jantungku sudah semakin berdetak keras seakan mau lepas dari dadaku. Kulihat seorang tentara yang wajahnya tertutup masker berdiri di hadapanku. Samar-samar kukenali dari matanya, tentara itu adalah Iwan.

   Entah bagaimana, tentara bernama Iwan itu berhasil menyelamatkan diri dari Balai Desa, Dan datang kembali membawa bantuan.

   "Yang ini masih sehat." kata Iwan berteriak kepada rekannya sambil melepaskan maskernya sejenak.

   Sehat apanya? Tentara itu nggak tahu kalau aku sudah mulai sesak nafas.

   Mungkin kalau sejak awal Aku dan Toyib mengikuti saran Ragil untuk pergi dari Balai desa, Kami bertiga sudah selamat. Pergi meninggalkan desa tanpa mempedulikan rasa penasaran kami. Toyib juga tidak mungkin mati jika kami pergi keluar desa, sehingga mungkin aku bisa hidup bahagia bersama Toyib selamanya.

   Pandanganku mulai kabur, ketika beberapa orang hendak mengangkat tubuhku. Tiba-tiba aku melihat dengan jelas suasana disekelilingku tiba-tiba seperti melayang. Aku pun kehilangan kesadaran semuanya gelap.

****
   Aku membuka mata. Kulihat sekelilingku berwarna merah. Tidak ada perasaan sakit dalam badanku. Aku bahkan tidak ingat dimana aku berada. Tidak ingat siapa diriku. Aku bangkit dari tempatku berbaring. Kutengok kebelakang. Kulihat dua orang sedang duduk membelakangiku. Tidak ada rasa lain selain yang kurasakan saat ini, ketika melihat dua orang itu:

Rasa lapar.


THE END



Beranda

Blogger Template by Blogcrowds.