Novel Zombie Indonesia


21
MUTASI


   Toyib sudah bermutasi.

   Aku mundur. Toyib masih berdiri menatapku. Aku tidak percaya kalau pria yang mencuri hatiku ini sudah bermutasi.

   Bagaimana mungkin, kami sudah disuntik serum? Atau mungkin saja serumnya belum bekerja permanen? Atau mungkin karena akibat gigitan makhluk tadi yang menghilangkan jempolnya?

   Tiba-tiba Toyib menyerudukku, Aku sudah tidak bisa menghindar. Reflek kuangkat kakiku untuk menendang tapi, Toyib sudah keburu mendorongku sehingga aku jatuh terguling.

   Toyib ingin menggigitku tapi kepalanya masih terbalut helm. Helm itu menghantam keras rahangku. Sakit sekali.

   Aku melakukan gerakan menggunting dan membanting dari teknik Judo. Kuhempaskan kedepan dengan kedua kakiku, tubuh Toyib sehingga terpental jatuh ke belakang. Aku berguling dan bangkit.
Kulihat Toyib juga bangkit. Aku bersiaga mengambil kuda-kuda. Toyib menerjang. Aku segera melakukan gerakan bantingan. Toyib terpelanting.

   Ia berdiri lagi dengan cepat menyerudukku. Aku memutar dan berhasil memegang ujung helmnya. Kutarik lepas helm itu.

   Kulihat wajah Toyib ketika bangkit lagi. Wajahnya tidak begitu pucat. Seluruh urat-urat di wajahnya sampai di batang lehernya tampak bengkak membiru. Merah dengan urat-urat hitam di lipatan-lipatan kulit mukanya. Dari hidung dan telinganya mengucur darah warna hitam kehijauan.

   Aku bergidik ngeri melihat wajah pria yang kukenal. Pria yang seharian ini aku bersamanya. Pria ini sudah membuatku merasa nyaman di sampingnya selama mengalami keadaan yang kacau ini. Seakan kami saling menjaga seharian ini. Sekarang mau tidak mau Aku harus membunuhnya.

   Aku beringsut mundur mendekati pohon di belakangku. Toyib berlari ke arahku. Aku mengehindar dan memukul kepalanya dengan helm di tanganku. Toyib jatuh berlutut. Aku segera menendang wajah lelaki itu. Kemudian kuhajar lagi dengan helm di tanganku. Tapi Toyib tidak jatuh juga. Aku menaruh helm di dadaku mendorong Toyib terdesak ke pohon di belakangnya.

   Kutahan sekuat tenaga helm itu membatasi kami. Tangan Toyib menjambaki rambutku. Dari mulutnya keluar suara mengeram, seperti binatang liar yang marah.

Kucabut pisau di pahaku. Perlahan-lahan kuhujamkan ke lehernya dari samping.

   Toyib berhenti mengeram. Mata merahnya memandangku. Perlahan-lahan meredup dan kelopaknya menutup. Baru kali ini, sejak hari ini, kulihat mata makhluk itu menutup, sedangkan makhluk yang lainnya masih melotot walau sudah terpisah dari badannya.

   Tubuh dan kepala Toyib jatuh terpisah dari badannya. Aku pun segera ambruk duduk bertumpu dengan kedua betisku.

   Aku menangis sejadi-jadinya.

   Perasaan shock dan kehilangan bercampur-aduk dalam dadaku. Aku harus kehilangan lelaki yang benar-benar bisa menggantikan almarhum tunanganku dulu. Bahkan mungkin lebih baik lagi dari almarhum tunanganku.

   Mimpiku dengan Toyib buyar sudah.

   Bukan karena Toyib tampan, tetapi sikapnya yang mampu berfikir tenang dalam kondisi kacau. Tegas dan juga mampu melindungiku. Kuyakin mungkin dia juga romantis. Aku benar-benar kehilangan lelaki yang mencuri hatiku bahkan sebelum aku benar-benar sempat mengenalnya lebih jauh. Mengapa semua kekasihku harus mati?

   Kudengar suara raungan di depanku.

   Aku membuka mata. Kuseka air mata yang membasahi pipiku. Kulihat gerombolan makhluk itu berlari ke arahku dari kejauhan.

   Tidak mungkin kuhadapi mereka sekaligus.

   Aku segera bangkit berdiri. Kugenggam erat-erat pisau di tanganku. Aku berlari menghindari kejaran mereka. Kulewati motor yang tadi kami pakai, yang kini tergeletak di pinggir jalan. Tidak ada waktu untuk menyalakan motor itu lagi, jadi aku terus berlari.

   Aku melintasi balai desa. Kulihat di depan halaman balai desa ada beberapa makhluk berjalan, dan hendak menghampiri ketika melihatku berlari melintas. Pintu depan balai desa sudah ambruk. Kuduga tentara-tentara didalamnya sama nasibnya dengan yang dialami oleh kesatuanku. Percuma aku berlindung di Balai desa, aku segera meneruskan langkahku.

   Samar-samar karena hari sudah hampir gelap, kulihat banyak makhluk itu di jalan raya di depan pintu gerbang desa. Aku memintas melintasi kebun jagung di sebelah kiriku.

   Kusorongkan pisau ke depan. Aku takut kalau jika tiba-tiba ada yang muncul di depanku. Sambil menerobos rimbunnya ladang jagung, aku terus berlari.

Beranda

Blogger Template by Blogcrowds.