Novel Zombie Indonesia


20

RAMBO


   Kulihat segepok anak kunci di tangan Toyib. Ia sedang mencoba memasukkan kunci satu persatu ke sebuah sepeda motor yang terparkir paling belakang. Kira-kira, ada sekitar 20 motor terparkir berdesakan di garasi kecil itu. Aku berdiri memperhatikan dari pintu garasi.

   "Aku menengok keadaan diluar dulu." kataku.

   Toyib hanya mengangguk, sambil tangannya masih mencocokkan kunci.
   Aku menengok melalui jendela kaca di ruang tamu. Kulihat makhluk-makhluk itu sedang menyantap teman-teman polisiku, terlihat jelas dari seragam dan perlengkapan yang berserakan di tanah. Entah berapa banyak jumlah makhluk di halaman depan. Pintu pagar tampak terbuka. Truk dan mobil patroli parkir di luar gerbang pagar.

   Bagaimana menembus kerumunan makhluk-makhluk itu? Aku mencoba berfikir. Sebuah tangan memegang pundakku. Aku menoleh kaget. Nafasku tertahan untuk tidak berteriak.

   Kulihat Toyib berjongkok sampingku, ikut mengintip. Tadinya, kupikir salah satu makhluk itu menyerangku. Toyib memperhatikan suasana di luar rumah.

   "Aku ada akal." katanya sambil berbisik kepadaku.

   Dia menarik tanganku, untuk mengikutinya ke garasi. Takut suara kami terdengar oleh makhluk di luar, jika kami berbicara di ruang tamu.

   "Aku menyetir motor. Kamu pegang pedang di belakang." kata Toyib menyampaikan idenya.

   "Bukankah tanganmu terluka?" kataku. Kulihat memang kain yang membalut tangannya sudah berwarna merah oleh darah.

   "Memang masih sakit, tapi kupaksakan saja." kata Toyib.

   "Jangan! Biarkan aku saja yang mengemudi." kataku.

   "Tidak! Aku yang mengemudi!" Toyib dengan nada tegas. Ia berbalik badan, dan menuju ke motor, Kembali mengutak-atik rencengan kunci motor di tangannya.

   Hmmm...tegas juga, aku bergumam dalam hati. Entah kenapa perasaanku ingin cepat mengakhiri situasi ini. Aku ingin segera pulang. Dan besoknya, pergi kencan dengan lelaki itu. Aku sangat ingin mengenal lelaki itu lebih dekat. Aku tidak bisa berkata apa-apa, kecuali menurut pada perkataan Toyib.

   Aku teringat kepada keempat buah senapan SS1 yang tergeletak di ranjang di lantai atas. Karena pasti sulit menebas pedang sambil berboncengan, pasti akan lebih mudah jika ditembaki. Walaupun makhluk-makhluk itu tidak akan mati oleh peluru biasa, setidaknya mereka terpental atau jatuh.

   Aku memeriksa senapan-senapan itu. Kupindahkan peluru dari clib magasin satu ke dalam clip lain. Peluru-peluru itu hanya cukup untuk mengisi 2 clip, itupun tidak penuh. Kukaitkan pisau sangkur di pahaku. Katana Aku kaitkan di punggung. Jadi kubawa saja kedua senapan untuk menjaga kalau tidak sempat mengganti clip.

   "Mau perang, Mbak?" Toyib mengejekku melihatku menenteng dua senapan serbu di kiri dan kanan.

   "Ini buat cadangan. Lo kira gue Rambo." Aku menjawab renyah.

   Toyib tertawa kecil. Manis sekali, kulihat sekilas deretan giginya yang putih. Well, kami mulai memulai flirting. Es mulai sedikit mencair.

   Toyib memilih sepeda motor trail. Entah supaya lebih cepat atau hanya sesuai dengan selera lelaki itu? Aku tidak peduli, biarkan saja.

   "Pintunya?" tanyaku.

   "Sudah aku ganjel. Tinggal dorong pakai kaki. Ayo!" kata Toyib sambil memakai helm.

Pakai helm?. "Udah gak usah pakai helm. Kamu pergi sama polisi, kok." kataku bercanda mencairkan suasana tegang sedari pagi.
Toyib malah menyodorkan helm kepadaku.

   "Demi keselamatan." katanya.

****
   Hari sudah maghrib, ketika motor kami melaju keluar menembus pintu garasi.

   Aku melihat makhluk-makhluk itu di depan kami. Sebagian berlari ke arah motor. Mungkin makhluk itu menjadi agresif karena mendengar suara motor yang berisik ini, sejak dinyalakan.

   Kutembaki dengan senapanku. Ternyata repot juga menembak dengan satu senapan. Aku meraih grip senapan di kananku. Kutembakkan kedua-duanya bergantian ke arah makhluk-mahkluk yang mendekati kami.

   Sebagian makhluk itu terdorong, sebagian lagi terjatuh, ketika terkena hempasan peluru yang keluar dari senapan di kedua tanganku.

   Aku berusaha menjaga keseimbangan. Selain itu Toyib mengemudikan motor ini sambil menghindari mayat dan mobil-mobil yang berserakan menghalangi jalan.

   Peluru habis. Kubuang kedua senapan. Kucabut katana di punggung. Kutusuk makhluk di sebelah kiri yang tiba-tiba muncul. Namun karena cepatnya motor tidak sempat kucabut lagi pedang itu, sehingga tertinggal menancap di tubuh makhluk itu.

   Rupanya itu makhluk terakhir yang mengejar kami. Kami sudah meninggalkan blok tersebut, tiba di jalan utama desa. Toyib memacu kencang motor ini.

   Tiba-tiba motor yang kami tumpangi oleng. Aku berusaha menjaga keseimbangan, namun tetap saja kami jatuh. Aku jatuh terseret; membentur di aspal kasar. Sempat sekilas kulihat tubuh Toyib jatuh ke selokan. Aku berguling-guling.

   Aku berusaha menyadarkan diri, walau penglihatanku kunang-kunang. Kupaksakan diri. Takut kalau tiba-tiba muncul makhluk mengerikan itu. Aku berusaha bangkit kurasakan lututku sakit sekali dan berdenyut-denyut. Kurasakan kakiku terluka. Kedua lenganku juga tampak mengeluarkan darah, karena menahan tubuhku ketika terseret di aspal.

   Untungnya aku memakai helm, sehingga kepalaku masih utuh. Aku melepas helm.

   Aku berlari menghampiri selokan tempat Toyib jatuh. Kulihat dari jauh pria itu bangkit.

   "Kamu nggak apa-apa?" Aku memegang pundak pria kekar itu dari belakang.

   Toyib menengok. Kami berpandangan mata. Dari balik helmnya kulihat mata Toyib sudah merah seluruhnya.




Beranda

Blogger Template by Blogcrowds.