MASSACRE NOVEL
19
KUNCI
Aku
mengarahkan senjataku ke arah polisi-polisi yang sudah bermutasi itu.
Perasaanku bercampur-aduk tidak tega rasanya menembak mereka. Apalagi sempat
kukenali wajah mereka yang sudah berlumuran darah itu. Kulihat wajah Inspektur
Herlambang dan Bripda Heru dengan matanya yang sudah merah menyala dengan mulut
dan seragam yang sudah berlepotan darah.
Toyib
memandangku sambil memegang pedang di tangannya.
"Biar
aku tembak." kataku. Aku berusaha memberanikan diri.
"Jangan
nanti..."
Belum selesai Toyib berkata segera kutarik pelatuk senapan
yang popornya menempel di bahuku.
Polisi-polisi
yang sudah bermutasi itu roboh di terjang pelor dari senapanku. Badan mereka
bergetar-getar mengejang sebelum mati. Tujuh orang kuhitung. Aku kesal karena teman-temanku sudah bermutasi, menjadi korban dari
ketidaktahuan mereka.
Aku berlari meloncati makhluk-makhluk yang bergeletakan di
dekat pintu itu, sambil masih mengarahkan senapan ke depan. Aku melihat
tiga makhluk berjalan ke arahku dari koridor ruang tengah. Kutembak lagi mereka
sampai roboh.
Aku
memang pernah menjadi juara menembak sewaktu di akademi dulu. Itu sebabnya tembakanku
sangat jarang meleset dari sasaran.
Aku
menembak dua makhluk lagi yang berada di ruang tengah. Kusadari peluru khusus di senapan sudah habis. Kulepas senapan sehingga menggantung pada sling di
badanku. Kucabut katana dari sarungnya dan kutebas satu makhluk lagi di
depanku.
Kulihat
Toyib membunuh makhluk di sebelah kiri-ku. Aku meloncat dan menusuk satu
makhluk lagi yang hendak menyerang Toyib dari depan. Kudorong makhluk itu dan
kutusuk katana menembus lehernya.
Kami
berdiri di ruangan makan. Disekeliling kami tampak mayat-mayat polisi yang sudah
bermutasi. Aku melihat sekeliling tidak ada makhluk lainnya lagi.
"Tampaknya
mereka tadinya adalah polisi-polisi yang berlindung disini." kataku.
Kulihat Toyib sedang memeriksa ruangan kamar
mandi di samping kami. Aku melangkah ke pintu yang menuju garasi tepat di
samping kanan ruangan tempat kami berada.
Kubuka
garasi sambil waspada jika ada makhluk itu yang bersembunyi di garasi. Namun di
dalam garasi hanya terlihat motor berbagai macam jenis di parkir.
"AGGHH,..Tolong!"
terdengar Toyib berteriak dari dalam rumah.
Aku
segera berlari ke ruang makan. Kulihat Toyib sedang ditindih makhluk dari belakang.
Kedua tangan Toyib berusaha menghalangi kepala makhluk itu agar tidak menggigit
lehernya. Kutendang kepala makhluk itu hingga tubuhnya terguling ke samping
Toyib. Kemudian kuhujamkan katana di tanganku ke makhluk itu.
"Dari
situ." Toyib bangkit berdiri menuju pintu ke arah laboratorium yang tampak
masih terbuka.
Spontan mendadak, Ia berlari menendang satu makhluk yang hendak keluar dari pintu laboratorium.
Kemudian, ia menarik pintunya dan menutupnya. Terdengar suara
berdebam kencang.
Toyib
menghampiriku. Kulihat tangannya berlumuran darah.
"Kamu
tergigit?" kataku ketika melihat darah segar menetes dari jempolnya.
Toyib
mengangkat tangan kanannya melihatnya. "AAAHHHGG...!" Toyib
berteriak kesakitan. Matanya melotot. Ketika ia
menyadari, kalau jempol tangan kanannya sudah tidak ada. Aku melihat
ke arah makhluk yang menyerang Toyib. Antara kedua rahang makhluk itu tampak
potongan jempol Toyib.
Toyib
bersujud menahan sakit. Darah segar menetes melalui jempolnya yang putus. Aku
menghampirinya sambil melihat sekeliling meja makan mencari tali. Tidak ada,
aku berusaha berfikir cepat.
"Pejamkan
mata!" perintahku kepada lelaki itu.
"Kenapa?"
wajah Toyib melihatku dengan pandangan bingung. Mulutnya kembali meringis
kesakitan.
"Lakukan
saja!" bentakku. Kulihat pria itu memejamkan mata ketika kubuka
kancing-kancing kemejaku satu persatu.
Aku
membuka kemejaku, kemudian kulepaskan tali bra yang melilit tubuhku. Masa bodoh
dengan lelaki ini, pasti dia tidak akan berusaha genit dengan keadaan-nya sekarang. Kulilitkan kencang-kencang
tali bra di lengannya, untuk mencegah perdarahan
dengan menghambat aliran darah.
Toyib
membuka matanya ingin melihat kearahku. Kutampar tengkuknya.
"Jangan
melek!"
Toyib
kembali memejamkan mata.
Setelah
kupastikan ikatanku kencang. Kurobek sedikit bagian bawah kemejaku dengan katana
di tanganku. Kemudian sobekan itu kupakai untuk membalut telapak tangan Toyib.
Lelaki itu masih terpejam.
"Sudah
boleh buka mata." kataku ketika selesai mengenakan kemejaku kembali.
Toyib
memandangku dengan wajahnya yang masih kesakitan. Dia melihat lengannya yang di
ikat tali bra. Kemudian kembali memandangku.
"Tinggalkan
aku." pintanya memelas.
Aku memandang lelaki itu. Rasanya tidak mungkin
aku meninggalkan lelaki yang sudah mencuri hatiku ini.
"Kamu
tidak akan bermutasi. Tadi kan sudah disuntik serum." kataku
meyakinkannya.
Sebenarnya
aku juga ragu, apakah serum tersebut masih bekerja atau hanya bekerja sementara.
Tapi tetap saja aku tidak mau meninggalkan dia sendirian.
Toyib
bangkit dengan wajah tetap meringis menahan perih. Kemudian, ia
mengangguk kepadaku.
"Kita
bisa pakai salah satu motor di garasi." Kataku "Kamu tahu dimana tantemu
itu menyimpan kuncinya?"
Toyib
menggeleng. "Mungkin diatas."
"Bantu
aku mencari! di laci-laci itu." pintaku sambil menunjuk laci-laci meja
dekat televisi.
Aku
berlari ke tangga untuk mencari di ruang atas.
"Yang
menggigit ini adalah makhluk mutasi dari pamanku." Toyib berkata ketika
aku hendak menginjak anak tangga.
Toyib
berdiri melihat makhluk yang tadi menggigit tangannya. Sepertinya, ia mengenali makhluk itu.
"Mungkin
makhluk itu tidak sengaja keluar ketika polisi memeriksa ruang bawah." Aku
menanggapi. Kulanjutkan mendaki anak tangga tersebut ke lantai atas.
Aku
masuk ke ruang pertama dari tangga yang terbuka pintunya, sambil waspada
kalau-kalau ada makhluk yang tiba-tiba keluar dari dalamnya.
Kulihat
sekeliling ruangan kamar itu dengan perabot kayu jati di dalamnya. Wangi bunga
melati semerbak memenuhi seluruh ruangan. Di atas kasur tampak empat buah
senapan serbu SS1 tergeletak, sepertinya milik polisi, sebelum mereka bermutasi.
Kubuka laci-laci rak di dekat televisi yang ada di kamar itu. Lalu kubuka dan
kubongkar lemari hanya kutemui baju dan perhiasan, tapi tidak kutemukan satupun
kunci kendaraan.
"TIKA! Sudah
ketemu nih!" Terdengar suara Toyib dari lantai bawah.
Langganan:
Postingan (Atom)