Novel Zombie Indonesia


6

SUARA
  
   Aku terbangun. Aku mengambil handphone yang terletak di meja di samping tempat tidur. Jam 5.30. Aku menyingkirkan selimut dan duduk di tepi ranjang. Sungguh nyenyak tidurku semalam. Aku segera berganti pakaian, kembali mengenakan celana jeans yang kemarin kupakai dan kaos berwarna abu-abu kesukaanku.

   Aku ingin berjalan-jalan menghirup udara pagi di desa ini. Aku mencoba melupakan kejadian semalam dengan tanteku Muti. Aku berharap semua kembali normal, apalagi nanti siang aku akan pulang kembali ke Jakarta. Tidak ingin berlama-lama di rumah ini, apalagi dengan godaan si Muti, orang paling alim saja bisa runtuh imannya, apalagi aku yang jarang sholat ini.

   Aku memutar kunci kamar. Memang sengaja aku mengunci kamar, takut kalau dugaanku mengenai istri Om Iqbal ini adalah seorang psikopat terbukti benar.

   Bisa saja malam-malam dia menyelinap ke kamarku dan membunuhku. Dan kalau dia psikopat bisa jadi sebenarnya Om Iqbal dibunuh olehnya. Tapi kusingkirkan jauh-jauh pikiran itu, karena dugaanku hanya berdasarkan kejadian semalam. Hanya delusi dari film-film slasher yang pernah aku tonton.

   Aku berjalan menuju kamar mandi untuk buang air kecil. Sayup-sayup kudengar suara lagu daerah dengan suara gamelan dan kicau suara sinden.

   Keluar kamar mandi, aku berdiri di ruang makan untuk mencari asal suara tersebut. Kudengar suara tersebut berasal dari lantai atas.
   Aku berjalan menaiki tangga karena didorong rasa penasaran. Kulihat pintu kedua terbuka. Aku Memasuki pintu ruangan tempat suara musik itu berasal. Suara musik sekarang terdengar jelas ditelingaku. Kulihat seseorang di tengah ruangan memakai baju senam dan celana training.

   Muti sedang menari ditengah ruangan. Gemulai irama geraknya kontras dipadu dengan goyangan lekuk tubuhnya yang indah. Dari gerakan lembut menjadi gerakan cepat dan berubah lagi ke gerakan lembut sesuai dengan iringan nada gamelan yang terdengar dari speaker. Aku seperti tersihir melihat gerakan tarian wanita di depanku.

   Muti menghentikan tariannya begitu tersadar, kalau aku sedang berdiri memperhatikannya. Ia berhenti menari, menengok kepadaku sambil tersenyum manis. "Rupanya kamu sudah bangun Toyib."

   "Te..Teteh bagus sekali tariannya." Aku memuji, mencari alasan.

   "Ah kamu bisa saja." Muti tersipu. "Mau ikut menari?" Muti tersenyum manis menggoda.

   "Tidak terima kasih. Aku mau jalan-jalan dulu." kataku sambil membalikkan badan dan buru-buru keluar ruangan.

   Aku berusaha menghindar karena masih ingat kejadian tadi malam. Dari gelagatnya tampaknya Muti seperti tidak merasa terjadi apa-apa. Terus terang, melihat Muti menari tadi membuat darah lelakiku bergejolak.

   Suara lagu masih terdengar, Sepertinya Muti meneruskan latihannya.

****
   Aku berjalan-jalan ke belakang rumah melalui pintu dari dapur. Halaman belakang rumah ini luas dan ditumbuhi tanaman jagung dan umbi-umbian. Aku melintasi jalan setapak diantara pepohonan di kiri dan kanan. Aku berhati-hati, ketika menuruni ujung jalan setapak yang curam yang menuju ke sawah. Tidak jauh kulihat sebuah sungai kecil yang bening airnya membatasi antara kebun dan sawah.

   Padi-padi disawah tampak sudah siap panen. Tapi anehnya seperti tidak terurus. Kulihat pagar kawat yang melintang dari rumah Om sampai ke ujung perbukitan yang terletak jauh di ujung sebelah barat, kemudian pagar itu berputar melingkar kembali ke rumah Om aku. Dugaanku, kira-kira 5-8 hektar luasnya, kuhitung dari : rumah, sawah dan kebun. Kuperhatikan di ujung bukit tampak sebuah bangunan kecil seperti lumbung.

   Tampaknya benar, kalau dahulu Om Iqbal menghabiskan semua tabungannya untuk membeli tanah seluas ini. Aku berdiri di tengah sawah menghirup dalam-dalam udara pagi itu.

   Beberapa orang tampak berjalan di ujung sawah, jauh dari tempatku berdiri. Dari kejauhan kulihat sosok orang-orang yang mondar-mandir di sekitar lumbung. Ingin kuhampiri mereka, tapi tiba-tiba aku mendadak malas untuk meneruskan langkah. Aku terdiam. Kemudian aku membalikkan badan, berjalan kembali ke rumah pamanku.

   Aku kembali ke rumah paman hendak menjelajahi area di sekitar rumah tetangga. Sebenarnya aku penasaran ingin melihat rumah pandai besi yang diceritakan Muti. Semalam samar-samar kudengar suara besi berdentang kadang berhenti dan kemudian berlanjut sampai pagi. Aku ingin tahu apa yang sedang dikerjakannya.

Aku menaiki jalan setapak di depanku yang menuju ke kebun.

   "Darimana kamu?"

Sebuah suara mengagetkanku ketika sampai di kebun.

   Kulihat Muti berdiri di hadapanku ketika aku sampai di kebun. Ia berdiri dengan memegang golok hitam berukuran sedang di tangan kanannya. Kedua rambutnya yang hitam tergerai lepas ke depan. Sorot mata dan raut wajahnya tampak dingin.

   "Ja..jalan, lihat sawah." aku gugup karena kaget melihat wanita yang tiba-tiba muncul dihadapanku.

   Muti menyunggingkan senyum manisnya. Ia memutar sedikit badannya sambil mengangkat tangannya yang memeganng golok. Ia menebaskan golok dengan cepat. Aku kaget, segera reflek menghindar kebelakang.

   Ternyata Muti hanya memotong batang pohon singkong yang ada di depan sebelah kanannya. Ia kemudian berjongkok di bawah pohon yang baru saja di tebangnya tadi. Menggunakan golok, ia mencangkul tanah di sekitar pohon tersebut.

   Aku bernafas lega, kupikir perempuan ini benar psikopat yang hendak menyerangku dan memotong-motong tubuhku dengan golok di tangannya. Kuperhatikan sejenak Muti yang sedang menggali tanah menggunakan goloknya, kemudian menancapkan goloknya. Ia berdiri sambil menarik batang singkong itu.

   "Tolong bantu aku cabutin donk! keras banget nih." Kata Muti sambil menoleh kepadaku.

   "Sini biar aku saja." Kataku mendekatinya.

   "Terima kasih." kata Muti sambil melangkah mundur.

   Aku menarik pohon singkong itu. Setelah tercabut dari dalam tanah, kulihat ternyata besar sekali umbinya. Pantas saja berat, kataku dalam hati.

   "Besar ya, Setelah di potong, nanti kamu tancapkan lagi batangnya di tanah itu biar nanti tumbuh lagi." Kata Muti mengajariku.

   Aku mencabut golok yang masih menancap di tanah. Kemudian memotong batang singkong memisahkan dari umbinya. Dan kemudian merapikan tanah dan menancapkan kembali batang yang sudah kupotong, berukuran sekitar 30 senti itu kembali ke tanah.

   "Sudah nih. Mau diapakan?" kataku kepada Muti yang sedari tadi memperhatikanku.

   "Ya tolong bawakan ke dapur, akan kubuatkan singkong rebus balado pagi ini." Muti tersenyum membalikkan badan.

   Ia berjalan mendahuluiku yang mengikutinya dari belakang. Sekilas kuperhatikan dengan jelas lekuk badan yang sintal dan kencang dari balik baju kaos tanpa lengan dan celana training yang dikenakan Muti. Kulitnya yang putih di sekitar punggung dan bahunya bersinar-sinar ditimpa cahaya matahari.

   Sialan, Aku harus pulang habis sarapan, bisa khilaf kalau lebih lama disini.

   Aku mendengar kembali suara besi dipukul-pukul membuyarkan perhatianku pada wanita di depanku. Kali ini terdengar seperti dekat sekali. Dari area sekitar kebun. Aku melirik kiri dan kanan. Karena tidak ada apa-apa di daerah itu hanya pohon dan pohon saja.
Muti berhenti menoleh melihat melirik kearahku.

   "Ada apa?" kataku berlagak bego menghentikan langkah kakiku ketika melihat Muti menoleh.

   "Nggak." Muti kembali meneruskan langkahnya menuju pintu dapur yang sudah terlihat di depan kami.

   Aku tidak bertanya kepada Muti mengenai suara itu. Tampaknya ada rahasia yang harus kuungkap sendiri di desa ini, tanpa sepengetahuan Muti. Maka tampaknya aku harus mencari celah, dimana tanteku ini lengah.

   Aku menaruh singkong di wastafel dapur. Membuka keran untuk mencucinya.

   "Biar aku saja. Kamu santai saja Toyib." kata Muti ketika aku hendak mencuci umbi-umbian itu.

   "Benar nih? kalau begitu aku mau mandi." kataku mencari alasan.

   "Iya, kamu santai saja. Biar aku yang memasak." Kata Muti.

   Aku meninggalkan Muti di dapur dan berjalan ke ruang tengah. Aku mencari cara untuk keluar dari rumah itu tanpa melalui pintu depan. Kubuka pintu di dekat ruang tengah, mungkin saja pintu ini menuju ke luar juga.

   Kulihat motor berbagai jenis, ketika aku memasuki ruangan dibalik pintu itu. Motor siapa ini? Kenapa banyak sekali? Aku berfikir. Mungkin semua motor itu milik pamanku, aku mencoba berfikir positif. Aku membuka palang pintu garasi. Membuka pintu dan keluar.

   Melewati jalan setapak di samping rumah, yang berbatasan dengan pohon jagung di sampingnya, Aku berjalan cepat-cepat menuju pintu pagar. Aku ingin menuntaskan rasa ingin tahuku tanpa diketahui Muti.

   Pertama-tama, aku harus cek rumah pandai besi. Jangan-jangan suara tadi di kebun hanya halusinasi saja.






Beranda

Blogger Template by Blogcrowds.