Novel Zombie Indonesia


1

RONGGENG



   Suara gamelan bersahut-sahutan mengiringi pementasan tari tradisional Ronggeng di sebuah halaman rumah. Tampak lima orang penari Ronggeng di antara kerumunan orang-orang yang turut berjoget mengikuti irama goyangan para penari. Diantara kelima penari tersebut. Dari kelimanya yang paling menyolok adalah Muti.

   Muti adalah seorang penari Ronggeng, yang menjadi idola para pria di seluruh kecamatan Kawali, gaungnya terdengar bahkan sampai ke seluruh kabupaten Ciamis bahkan sampai ke Cirebon dan Bandung. Usianya sekitar 30 tahun, tapi tubuhnya yang sintal seperti gadis remaja, wajahnya lembut dan kulitnya kencang menutupi usia sebenarnya. Bahkan, banyak orang menduga usia Muti adalah sekitar 20 tahun. Setiap hajatan yang mengundang group tari Cakra Melati selalu dipenuhi pengunjung pria. Bahkan ada yang rela datang dari luar kota, dan tidak segan-segan mereka mengeluarkan uang banyak hanya untuk menyawer Muti.

   Muti dan 2 orang penari lainnya mundur ke belakang panggung, digantikan oleh tiga orang penari berikutnya yang langsung memasuki pentas.

   Muti berjalan, tiba-tiba ia terhuyung hampir jatuh, tangannya langsung memegang tiang besi di sebelahnya. Kedua teman penarinya reflek memegangi Muti.

   "Kamu kenapa, Mut?"

   Seorang wanita bertubuh gempal bangkit dari kursinya, yang terletak tidak jauh dari tempat Muti berdiri. Dia bergegas menghampiri Muti.

   "Aku pusing, Ndung. Kayaknya darah rendahku kumat lagi" Muti menjawab.

   "Kamu sih dipaksa, jangan terlalu meladeni para pria itu." Wanita yang dipanggil Indung tersebut mulai berceloteh. Ia membantu memapah Muti berjalan ke bangku yang tadi di dudukinya.

   "Laki-laki di luar sana, tidak akan pernah puas sampai kamu ambruk pingsan di lapangan."

   Muti tidak menjawab. Ia kemudian duduk di kursi. Seorang teman penarinya memberikan segelas air putih kepada Muti.

   "Sudah kamu istirahat dulu. Biar kita yang menangani nafsu para laki-laki di luar sana. sekarang masih jam 1 kayaknya jam 3 acara selesai kok" Kata Indung.

   "Bagaimana nanti kata Abah?" kata Muti kepada Indung dengan suara lemah.

   "Abah biar aku yang bilang nanti. Kamu istirahat dulu dan kalau tidak kuat jangan dipaksa tampil lagi."

   Muti hanya mengangguk. Indung meninggalkan Muti untuk bergabung dengan penari-penari lainnya yang berdiri di pintu masuk panggung, menanti giliran tampil.

   Muti menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, sambil menarik nafas panjang.

   "Halo."

Sebuah suara dari belakang mengagetkan Muti. Muti menengok kebelakang tampak seorang pria muda berdiri di belakang Muti.

   Pria itu bertubuh gempal, berkulit hitam, berpakaian kemeja coklat dengan celana bahan halus yang terlihat mahal. Wangi parfum tercium jelas semerbak dari badannya. Dari wajahnya tampak ia berusia sekitar 25 tahun.

   "Aku Anton. Kamu ingat nggak tadi aku yang menari bersama kamu." pria itu memperkenalkan diri.

Muti hanya mengangguk sambil memasang senyum menggoda.

   "Nama kamu siapa? Boleh aku temanin?" pria itu berkata.

   "Muti." Muti berkata sambil mengangguk mengiyakan.

   Pria bernama Anton itupun langsung duduk di kursi di samping Muti. Muti dan Anton mulai terlibat percakapan. Sesekali diselingi ketawa.

****
   Pertunjukan selesai. Gemuruh suara gamelan berhenti. Para penari berjalan berbondong-bondong menuju ruang ganti. Indung mendekati Muti.

   "Kamu bagaimana sudah baikan?" tanya Indung.

   "Lumayan, tapi kayaknya aku langsung ke rumah saja, tidak nginep di sanggar." Muti menjawab.

   "Aku antarkan pulang pakai motor, mau?" tiba-tiba Anton menyela percakapan mereka.

   "Teman kamu?" Tanya Indung kepada Muti dengan nada setengah berbisik.

Muti mengangguk mengiyakan.

   "Kalau begitu jaga dia baik-baik ya. Kalau sampai ada apa-apa dengan Muti mendingan kamu lari dari Ciamis." Indung berkata kepada Anton dengan nada bercanda. "Kita ganti baju dulu. Ayo Mut!"

   "Aku ganti dulu ya Kang." kata Muti.

   "Iya aku tunggu disini ya." jawab Anton tersenyum ramah.

   Muti pun berdiri, kemudian berjalan mengikuti Indung ke arah tenda kecil tempat para penari berganti pakaian.

****
   Sepeda motor yang ditumpangi Anton dan Muti tiba di depan pagar sebuah rumah. Rumah tua, dengan desain jaman dari jaman Belanda terletak jauh agak terpencil dari rumah penduduk lain di desa Gebang. Terlihat pagar besar di depannya. Halaman luas dari pagar ke pelataran rumah yang ditumbuhi tanaman singkong dan berbagai tumbuhan lain. Walaupun tua, tapi cat rumah itu tampak baru, serta tidak menampilkan kesan seram, karena lampu menerangi  halaman dan terasnya.

   Muti turun dari motor. Hanya 10 menit perjalanan dengan motor dari desa sebelah tempat hajatan berada sampai ke desa tempat tinggal Muti.

   "Mampir yuk. Sambil menunggu subuh." ajaknya kepada Anton.

   "Boleh." kata Anton sambil mematikan mesin motornya.

   Muti membuka pagar. Kemudian berjalan sepanjang halaman, diikuti Anton yang mendorong sepeda motornya.

   "Rumah kamu besar juga ya?" Anton dengan nada kagum.

   "Ini punya suami saya." Jawab Muti, sambil membuka tasnya untuk mengambil kunci.

   "Kamu sudah punya suami?" Anton sedikit kaget.

   "Mendiang Suami." Muti menengok tersenyum, ketika mendengar nada suara Anton. "Ayo masuk!" Muti melanjutkan, sambil memutar kunci dan membuka pintu.

   "Motor kamu dimasukkan garasi saja di belakang. Lewat samping. Sebentar aku buka pintunya dari dalam."

Anton menengok kebelakang, ke arah yang ditunjukkan Muti. Kemudian, ia memutar motornya dan mendorongnya menuju ke jalan setapak di samping rumah.

   Anton mendorong motornya, melewati jalan setapak, menuju sebuah bangunan kayu yang menempel dengan rumah, yang digunakan sebagai garasi. Seperti juga halaman samping rumah ditumbuhi pohon jagung di sepanjang halaman tepi rumah. Tampaknya tanah tempat rumah ini sangat luas lebih dari 2 hektar. Anton berdiri di depan pintu garasi. Tidak berapa lama pintu terbuka dari dalam. Tampak wajah Muti sambil tersenyum, membukakan pintu. Tanpa banyak bicara, Anton mendorong motornya masuk ke dalam garasi. Muti menutup pintu garasi.

   Di dalam garasi itu tampak ada beberapa motor diparkir. Motor-motor tersebut tidak terdapat plat nomor. Sebagian motor di tutupi oleh terpal hitam.

   "Motor-motor siapa ini?" tanya Anton heran.

   "Ini semua koleksi milik almarhum suami saya dulu." Muti berjalan sambil tersenyum menuju pintu disamping garasi yang menuju rumah.

   Benar dugaan Anton. Rumah besar dan tanah luas, juga ditambah dengan koleksi beragam motor. Untuk ukuran orang desa memang sangat kaya.

   Anton memasuki ruang rumah Muti. Berjalan melewati tangga mengikuti Muti menuju ruang tamu.

Tidak banyak perabotan di dalam rumah Muti yang besar. Hanya ada kursi, sofa dan meja diruang tamu. Sebuah rak besar berisi buku terletak di sudut. serta meja pajangan kecil yang memajang patung-patung kayu kecil. serta beberapa lukisan di dinding rumah.

   "Minum apa?" tanya Muti.

   "Apa saja." Anton tanpa sungkan duduk di sofa kayu jati. Ia yakin tidak ada siapa-siapa di rumah ini, selain dirinya dan Muti.

   "Kopi ya?"

   "Boleh." Anton mengeluarkan rokoknya. Menyalakan rokok dan menghisapnya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi sofa kayu jati itu.

   Muti meninggalkan Anton yang sedang memperhatikan sekeliling ruang. Tidak berapa lama, Muti balik lagi membawa baki berisi dua gelas kopi hitam dan ditaruhnya di meja. Kemudian, Muti duduk di sofa di samping Anton.

   "Aku sendirian kok. Mendiang suami-ku meninggal setahun lalu." Muti membuka pembicaraan. "Sejak itu, aku mencari uang dengan kembali menjadi penari."

   Anton menyeruput kopinya dan meletakkan gelasnya. Samar-samar, Anton mendengar suara gaduh seperti suara benda dipukul-pukul dari jauh.

   "Suara apa itu?" tanya Anton.

   "Oh, gema suara bengkel pandai besi di sana tuh. Biasa dia suka kerja lembur sampai pagi." Muti menunjuk arah.

   Keduanya pun terhanyut dalam obrolan yang sudah mulai bersifat personal. Tanpa disadari jam mulai menunjukkan pukul setengah 5 pagi. Suara adzan subuh mulai terdengar di kejauhan.

   Tapi, keduanya sudah tidak peduli dengan waktu, karena mereka sudah mulai terlibat rayuan, percumbuan dan menumpahkan nafsu perasaan mereka masing-masing. Muti melepaskan pelukan Anton, berdiri dan kemudian menarik pria itu berdiri. Muti menggandeng Anton berjalan mengikutinya menuju ke kamar.

   Kamar Muti rapi dan bersih. Walaupun minim perabotan, hanya ada lemari pakaian dan televisi dan tentu saja sebuah ranjang besar yang semuanya terbuat dari kayu jati.

   Bau harum semerbak bunga melati tercium dari kasur, ketika Anton menindih tubuh Muti. Sudah tidak ada sehelai benang pun melekat di tubuh mereka berdua. Hanya ada nafsu dua insan manusia berbeda jenis kelamin yang saling bercumbu dan mendesah diantara dinginnya udara subuh.

   Sejak Anton pertama kali melihat Muti di acara hajatan semalam. Kemolekan tubuh dan kecantikan Muti, serta lenggokan lekuk tubuhnya ketika menari seperti membuatnya tersihir untuk menyelami sosok wanita tersebut. Kini ia merasa sebagai salah satu pria beruntung yang dapat pula merasakan tubuh mulus si janda penari yang menjadi idola banyak lelaki.

   Sisa waktu subuh itu dilewati mereka untuk saling melampiaskan nafsu terlarang, menyalurkan hasrat biologis mereka.

****
   Anton bergulir di samping Muti setelah klimaks. Tubuhnya bersimbah keringat. Entah kenapa Anton tiba-tiba merasa nafasnya berat dan jantungnya derdegup sangat kencang. Tidak biasanya, merasakan demikian sehabis bersetubuh, Ia bangkit duduk di atas ranjang, ketika merasakan rasa panas dari dadanya naik ke atas bersarang di lehernya. Anton memegang lehernya merasakan sesak Nafas.

   "Enak Kan?" Muti berkata

Anton menengok heran, melihat ke Muti yang duduk bersandar di tembok sambil tersenyum.

   "Aku sesak..." suara Anton seperti orang tercekik, karena ia merasakan sakit dan panas sekali di tenggorokannya. Ia tidak bisa menjerit karena suaranya seperti tersumbat. Anton pun berusaha bangkit turun dari ranjang. Tapi tiba-tiba, tubuhnya terasa lemas. Ambruk terlentang dan berguling-guling di lantai. Muti turun dari ranjang dengan masih tanpa busana, hanya berdiri di pinggir ranjang, menatap tubuh Anton yang kejang-kejang.

   Mata Anton melotot, dan urat muka dan lehernya terlihat tegang. Nafasnya Terengah-tengah.

   "Kopinya beracun, sayang. Aku punya rencana untuk kamu." Kata Muti sambil tersenyum jahat.

   "Gi..la." suara Anton berbisik tercekik.

   Tubuh pria itupun langsung berhenti kejang.  Diam tak bergerak lagi. Dari mulutnya mengeluarkan busa.   

Beranda

Blogger Template by Blogcrowds.