MASSACRE NOVEL
9
BALAI DESA
Kulihat
kan Irdi dan
Rizky pergi meninggalkan halaman berboncengan motor, mungkin karena ketakutan.
Aku berlari ke arah pagar. dan berdiri di mobil patroli yang terparkir dekat
pintu.
Kulihat
seorang polisi menyeret tubuh kawannya yang berdarah-darah keluar dari kerimbunan
semak pohon jagung. Dua orang polisi segera menghampiri hendak membantu.
Seorang
polisi memakai topi bertuliskan K9 Keluar menyusul dari semak. Tangan kanan memegang
pistol dan tangan kiri polisi itu menyeret rantai anjing. Terlihat kepala dan sebagian
kaki depan anjing terseret keluar dari semak-semak. Wajah polisi itu tampak
shock.
Polisi yang berbadan besar itu tiba-tiba
sudah berdiri di depanku.
"Kamu
saksi?" Tanyanya.
Aku
mengangguk.
"Saya
Inspektur Herlambang." kata polisi itu memperkenalkan diri. "Kamu
jangan jauh-jauh dari kita!"
Tika
berlari menghampiri kami. "Pak, detasemen Khusus dan Brimob dari Ciamis
sedang dimobilisasi."
"Mereka
nggak bisa mati!" teriak polisi bertopi K9. Aku menengok ke arah suara
itu. Wajah polisi itu tampak shock dan tampak panik. Teman-temannya
berusaha menenangkan.
"Bawa
yang terluka! Kita mundur ke luar pagar!" teriak inspektur Herlambang
kepada anak buahnya.
Kami berlari keluar ke pagar. Polisi yang terluka akibat digigit rekannya dan anggota K9 yang
terluka di gotong ramai-ramai ke luar pagar. Dua mobil polisi yang paling belakang
juga dikeluarkan. Termasuk motor-motor polisi. Pagar di tutup.
Terdengar
raungan menyeramkan dari arah ladang jagung. Disusul suara raungan-raungan yang
sama dari kejauhan secara berantai. Suara
raungan yang
bukan dari manusia. Entah makhluk apa yang ada dibalik ladang-ladang jagung
itu.
"Kita
tunggu pasukan! Masukkan yang terluka ke mobil, beri pertolongan."
Inspektur Herlambang yang berdiri disampingku memberi instruksi. "Tika!"
Tika
mendekati inspektur.
"Kamu
bawa saksi ini ke balai desa!" Kata Inspektur Herlambang kepada Tika.
"Tapi
Pak?" kata Tika dengan wajah cemas.
"Ini
perintah! Kamu jaga saksi ini jangan sampai terluka!" kata
inspektur Herlambang tegas. "Jangan pindah dari balai desa jika tidak ada
perintah!"
"Siap
Pak!" kata Tika.
Sebagai
seorang polisi tentu saja Tika harus patuh pada perintah komando sesuai pangkat
dan kedudukan mereka. Tika tidak dapat membantah, walaupun tampaknya dia
sama penasarannya dengan aku mengenai situasi ini.
"Ayo
kita ke balai desa!" kata Tika sambil mengapit lengan
kananku, mengajakku
supaya mengikutinya.
Kami
menaiki mobil patroli bersama seorang polisi kurus berkumis. Aku duduk di kursi
belakang. Seperti penjahat saja, pikirku.
Mobil
kami melintasi jalan raya utama desa yang sepi. Kulihat
dari kejauhan, orang-orang sedang berjalan dan berdiri di petak-petak
sawah. Tampaknya sedang sibuk mengurusi sawahnya. Herannya, seperti kemarin, mereka hanya terlihat mondar-mandir, tidak ada
aktifitas lain seperti mencangkul, menyiangi atau lainnya.
Heran,
sudah beberapa kali terdengar suara tembakan dan mobil polisi datang ke desa
dengan sirine yang meraung-raung, tetapi nampaknya penduduk desa ini seakan
tidak peduli, bahkan menghampiri mencari tahu saja tidak. Satu lagi, hal
yang janggal yang kujumpai di desa ini.
Kami
berhenti di depan balai desa. Tampak suasana balai desa sepi seperti ketika aku
datang. Aku dan Tika turun dari mobil.
Ketika
hendak melangkah memasuki halaman balai desa, terdengar di kejauhan suara sirine.
Aku dan Tika menghentikan langkah dan melihat ke arah suara sirine itu.
Iringan
kendaraan dari kejauhan. Sebuah mobil patroli polisi di depan. Diikuti dua mobil
van besar dan di belakang tampak truk pengangkut pasukan.
Polisi
kurus yang tadi mengantar kami turun dari mobil dan menghentikan konvoi. Konvoi
berhenti tepat di depan balai desa. Petugas dalam mobil patroli berbicara
dengan polisi kurus tadi. Kemudian, polisi kurus itu menaiki
mobil patroli yang tadi kami tumpangi. Mobil itu memutar, ke arah tempat kami datang, diikuti rombongan konvoi dibelakangnya.
Truk
yang paling belakang dari konvoi tersebut berhenti di depan balai desa. Truk
itu bertuliskan TNI AD. Satu regu tentara bersenjata
lengkap turun satu persatu dari atas truk. Seorang tentara menghampiri kami.
"Polisi. Aku Tika" perempuan itu menunjukkan lencananya kepada tentara yang menghampiri kami.
"Ini
saksi, aku harus menjaga dia." Tika melanjutkan sambil menunjukku.
Tentara
berkulit coklat gelap itu memberi salam kepada Tika. "Aku letnan
Ragil dari KODIM. Kami diperintahkan membuat perimeter di
balai desa, jika nanti polisi memerlukan eskalasi
bantuan darurat."
Aku
bersalaman dengan tentara bernama Ragil itu. Kemudian Ragil dan Tika berjalan
di depanku sambil berbicara. Aku mengikuti mereka dari belakang. Kutengok
kebelakang, kulihat para tentara itu berbaris dan sedang menerima instruksi dari ketua regu-nya. Aku kembali berjalan ke depan memasuki pintu Balai Desa.
Balai
desa terlihat sepi. Aku dan Tika memasuki ruang ‘Seksi Keamanan’.
Ruangan itu tampak kosong. Demikian juga, ketika kami memeriksa ruang sekretaris desa. Kupikir Kang
Irdi dan Rizky tadi kembali kemari.
"Clear."
kata tentara bernama Ragil itu setelah memeriksa dua ruang lain di belakang.
"Tidak
ada orang. Kemana mereka?" Ragil melanjutkan. Kami
tidak menjawab, karena yang ditanya dan yang menanyai sama-sama tidak tahu.
Tentara
itu berjalan melewati kami menuju ke teras. Dari teras, ia berteriak memanggil
pasukannya untuk masuk.
Tika
menunjukkan ruang Seksi Keamanan.
"Kita
istirahat dulu disana!" Aku dan Tika memasuki ruang tersebut, mengambil
kursi dan duduk.
Derap sepatu tentara terdengar
di depan ruangan
tempat kami duduk.
"Buku
apa itu?" Tika bertanya kepadaku.
Kusadari tanganku masih memegang buku kuning
yang kuambil dari laboratorium itu.
"Tadi
aku ambil dari laboratorium." kataku.
"Tentang
apa isinya?” kata Tika.
"Nggak
tau, tunggu kubaca dulu."
Aku membuka buku itu, mungkin dapat menjawab rasa penasaranku mengenai apa yang sedang dikerjakan di laboratorium dibawah rumah
pamanku. Tika menggeser kursinya, untuk ikut membaca disampingku.
Langganan:
Postingan (Atom)