Novel Zombie Indonesia

5

RAYUAN

Segar dan dingin air di desa ini. Mampu membuat pikiran rileks dan tenang setelah mandi.

   Aku keluar dari pintu kamar mandi yang terletak di lantai bawah. Kamar mandi itu terletak di samping kamar tamu yang kutempati. Begitu keluar kamar mandi, langsung bertemu dengan ruang makan yang terletak di dekat tangga.

   Muti duduk di meja makan. Tubuhnya terbalut dengan daster hijau. Rambutnya basah, sepertinya dia juga baru mandi. Wajahnya tampak segar dan makin cantik sehabis mandi. Tentunya pasti dia punya kamar mandi sendiri di lantai dua.

   "Ayo makan dulu, Yib. Maaf seadanya. Teteh nggak masak tadi." Katanya sambil menyendok nasi.

   "Tidak apa-apa, Teh." kataku membiasakan diri memanggilnya Teteh, yang artinya kakak perempuan.

   Aku berjalan menghampiri meja makan. Kulihat sayur daun singkong di meja, sambal ulek, ikan teri pedas dan tempe goreng. Aku menarik kursi meja makan dan duduk. Mengambil nasi dari magic jar yang terletak di meja makan. Aku lapar sekali.

   "Beginilah kehidupan kami di desa." kata Muti. "Kalau disana bagaimana?"

   "Sama saja, Teh. Ibu juga jarang masak kok." Aku menyantap nasi dengan lahap.

Hmm..nikmat sekali rasa pedas sambalnya.

   "Om Iqbal dulu meninggalnya kenapa?" aku bertanya.

   "Om Iqbal sakit. Entah sakit apa, tidak ada yang tahu. Sudah berobat ke temannya dokter di kota, tapi tetap saja tidak sembuh." Muti menjelaskan sambil makan.

   "Kata orang desa Iqbal diguna-guna. 3 bulan kemudian meninggal." Muti melanjutkan.

   "Memangnya seperti apa sakitnya?" aku penasaran. Apalagi kalau sampai melibatkan guna-guna yang kudengar masih marak di daerah ini.

   "Sakit perut tiap malam, suka kejang-kejang. Aku sendiri bingung." kata Muti.

   "Tidak dibawa ke dukun?" Aku bertanya.

   "Om Iqbal kamu itu tidak percaya dukun. Dia kan dokter." Kata Muti

   Benar dugaanku, kalau Om Iqbal adalah dokter di desa terpencil ini. Dugaan yang berdasarkan dari yang kulihat melalui buku-buku kedokteran yang berderet di rak dekat ruang tamu.

   "Dulu Om kamu itu suka melayani masyarakat di sini secara cuma-cuma. Makanya waktu dia meninggal banyak yang kehilangan. Tanya saja sama kang Ijal dan kang Irdi." Muti bercerita.

   "Om kamu pindah kesini, karena dia bilang sudah tidak tahan hidup di Jakarta. Dia beli rumah ini dari orang Belanda, pakai uang tabungan dia. Harga tanah disini masih murah."

   "Kenapa tidak ada yang bilang ke keluarga kami kalau dia meninggal?" tanyaku.

   "Aku ingin dan berusaha mencari, tapi aku tidak tahu informasi mengenai keluarganya. Bahkan nomer telepon atau apapun yang berhubungan dengan keluarga tidak kutemukan di catatannya." ujarnya.

   Aku sangat heran, pertanyaan yang masih mengganjal. Seakan Om Iqbal membuang dirinya dari keluarga besar. Ada apa? Aku tidak bertanya lebih jauh, karena kuyakin istrinya ini juga tidak tahu.

   Muti menyelesaikan makannya. Kemudian bangkit berjalan menuju wastafel di dekat kamar mandi, untuk mencuci tangannya.

   Aku menyelesaikan makanku. Nikmat juga masakan tanteku ini. Apalagi rasa sambal yang pas benar pedasnya. Beruntungnya almarhum Om Iqbal yang memiliki istri cantik, seksi dan pintar memasak.

   "Tumpuk saja di dapur! biar besok aku yang mencuci." Kata Muti ketika melihat aku membereskan piring kotor kami.

   "Dapurnya dimana?" tanyaku.

   "Itu diujung. Sini aku saja yang bawa." kata Muti.

   "Tidak usah, Teh. Aku saja."

   Muti berjalan menuju dapur. Aku mengikutinya dari belakang. Tidak sengaja kulihat goyangan pinggulnya yang aduhai saat berjalan. Astaga! aku segera mengalihkan pandanganku. Aku melangkah sepanjang lorong pendek yang terdapat sebuah pintu di sebelah kiri, kuduga mungkin pintu kamar atau gudang. Diujung lorong ada pintu menuju dapur.

   Dapur itu cukup luas. Lebih luas dari ruang tamu. Dengan meja berbentuk letter L, juga ada meja marmer di tengahnya. Terlihat kompor gas, microwave di meja berbentuk letter L. Beragam pisau dan alat memasak tergantung di dindingnya. Wastafel terletak di sebelah kirinya. Aku menaruh piring kotor di wastafel itu. Sedangkan Muti mengambil termos air panas.

   "Mau teh atau kopi?" tanyanya.

   "Gak usah Teh. Aku cuma minum air putih." kataku meninggalkan dia yang sedang menyeduh teh.

   Aku kembali ke ruang televisi yang terletak di samping kiri ruang tamu, kalau dilihat dari pintu depan. Antara ruang televisi dan ruang tamu dipisahkan tembok dengan korden berwarna merah sebagai pintu. Ruang televisi ini memiliki sofa modern yang empuk. Televisi 30 inc, terletak di lemari panjang dari kayu, yang dibawahnya terdapat etalase kaca yang juga berisi buku. Televisi tersebut sejak sore tadi memang menyala, dan saat ini menampilkan film drama di televisi.

   Kurebahkan tubuhku di sofa empuk itu. Muti masuk ke ruang televisi sambil membawa segelas teh. Ia duduk di sofa panjang di sampingku. Aku memang masih ingin mengobrol banyak dengan tanteku mengenai Om Iqbal.
   Samar-samar, aku mendengar suara gaduh jauh entah dari mana. Seperti suara besi di pukul-pukul.
   "Suara apa itu?" tanyaku membuka pembicaraan ketika mendengar suara itu.
   "Oh, itu gema dari tukang besi. Rumah dia jauh tapi gemanya sampai kesini. Maklum desa." Muti menyeruput tehnya.
   "Selain jadi dokter apa yang Om Iqbal lakukan disehari-hari?" tanyaku.
   "Selain dokter, dia bertani. Besok pagi, kamu bisa lihat kebun dan sawah kami di belakang." Muti menjelaskan. "Iqbal orang yang sosial, dia jadi dokter secara cuma-cuma untuk masyarakat desa ini, tapi dia praktek juga di puskesmas kecamatan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup kami juga menjual hasil pertanian dan kebun." Ucap Muti.
   "Kalau teteh asli daerah sini?" Tanyaku "Maaf Teh, kalau aku banyak tanya. Aku penasaran dengan keluarga Om. maklum rasa ingin tahuku berlebihan.
   "Nggak apa. Aku dulu penari. Aku dari daerah Garut. Kebetulan waktu itu lebih banyak pentas di Ciamis, jadi group kami mengontrak rumah di kota. Dulu aku menari jaipong, waktu baru pertama bertemu dengan Om kamu." Muti meletakkan gelasnya.
   "Kemudian kami menikah. Namun setelah Om kamu meninggal aku menari lagi mencari tambahan." Muti melanjutkan.
   "Teteh menikah dengan Om Iqbal sudah berapa lama?" kataku. "Belum punya anak?"
   "Kami belum punya anak, karena aku ada kista dan rahimku diangkat. Sekitar lima tahun kami menikah. Kenapa?" tanyanya.
   "Mau tau aja sih, berarti Teteh menikah sekitar umur 17 atau 18 donk?" tanyaku sok tahu.
Tiba-tiba Muti tertawa renyah. "Memangnya kamu kira aku umur berapa?"
   "Antara 20 sampai 23 tahun." jawabku polos.
Muti tertawa lagi. Kemudian mengambil gelas tehnya dan menyeruput tehnya. Meletakkan di meja.
   "Umurku nggak jauh kok sama kamu." Ujar Muti.
   "Aku umur 26, berarti memang tidak jauh jika Teteh berumur 23 atau 25." aku menebak.
   "Kamu salah. Aku berumur 30 tahun." katanya tersenyum.
   "Yang benar?" tukasku, antara ragu dan terperanjat kaget.
Muti hanya mengangguk meyakinkanku dengan raut wajah serius.
   Ternyata dari paras wajahnya, kulit muka dan tubuhnya tidak tampak tanda-tanda penuaan. Bahkan menipu semua mata semua lelaki yang akan mengira kalau Muti berumur sekitar 20 tahun.
   "Teteh, tidak tampak seperti berumur 30 tahun. Wajah dan kulit Teteh kencang seperti gadis remaja." Kataku memuji.
   "Ah, kamu ini pintar merayu." Muti tersenyum tersipu.
   "Ini pujian lho." ucapku sekenanya.
Kami berpandangan sejenak. Tiba-tiba Muti dengan cepat melompat, duduk dipangkuanku berhadapan. Dari dekat tercium wangi tubuhnya yang harum.
   "Teteh ngapain?" Aku memegang pinggangnya karena kaget, sehingga memberi penolakan.
   "Toyib, daripada mencoba merayu aku, kita langsung saja yuk. Aku sangat membutuhkan sejak Om kamu tidak ada." Muti membelai lembut wajahku. Senyum dari bibirnya yang indah dan menggoda ada di depan wajahku.
   Dadaku langsung bergejolak. Sebagai laki-laki normal bagaimana tidak tergoda apabila ada seorang janda cantik, berkulit halus dan bertubuh molek berhadapan wajah di pangkuanku sambil memutar-mutar kecil pinggangnya. Gimana nih? kataku panik dalam hati. Aku harus tetap tenang.
   Bagaimanapun wanita ini adalah istri pamanku, walaupun pamanku sudah meninggal tetap saja, tidak etis. Tapi setan di kupingku seakan berbisik lain untuk menyuruh nafsuku segera memeluk, menciumi dan menelanjangi perempuan cantik dihadapanku ini. Apalagi ketika Muti menempelkan keningnya di keningku. Nafas perempuan itu terasa harum.
   Aku memegang pinggang Muti yang terasa ramping dari balik dasternya. Mendorong Muti ke samping, sehingga wanita itu jatuh terlentang di sofa, menahan tubuhnya dengan kedua sikunya. Hal ini kulakukan supaya nafsu setan dalam diri kami tidak mempengaruhi lebih jauh.
   Apakah ini yang sering dia lakukan dengan pria lain sejak Om tidak ada? tanyaku dalam hati. Aku tidak mau melanjutkan, walau setan di kupingku ini terus berteriak agar aku tidak menghentikan hal tersebut.
   "Teteh, Aku tidak mau. Teteh kuanggap tante dan juga kakakku. Aku tidak mau." kataku tegas kepada Muti yang menatapku. Wajahnya tampak kaget bercampur kecewa melihat penolakanku.
   "Maaf Teh." Kataku sembari menatap matanya.
Aku kembali memutar tubuhku duduk menghadap televisi.
   Muti terdiam. Ia memutar badannya menghadap televisi. Merapikan dasternya, memperbaiki posisinya duduknya, kemudian mengambil gelas teh dan meminum sisanya sampai habis.
   "Teteh tidak marah kan? Aku tahu kebutuhan Teteh tapi...." Entah kenapa perasaanku seperti merasa membuat kecewa tanteku ini.
Muti memotong perkataanku "Nggak kok. Aku yang kelewatan. Wajah kamu mirip sekali seperti wajah Iqbal, hanya saja jauh lebih muda. Memang aku hilang kontrol. Maaf."
Tiba-tiba saja ia berdiri dan memalingkan wajah tersenyum padaku dengan tatapan mata yang berbeda.
   "Baru kali ini ada lelaki yang mampu menolak rayuanku."
   Tatapan mata dan nada suaranya tiba-tiba berubah. Aku jadi heran bercampur kaget.
   Muti berjalan melintasiku. "Aku tidur dulu. Kalau kamu butuh tissue ada di meja makan." Katanya dengan nada sinis, sambil berjalan menuju tangga sambil menunjuk meja.
   Entah apa maksud tanteku ini, sarkasme atau sindiran tidak jelas maknanya. Kuperhatikan dia menaiki tangga. Tiba-tiba ia melirik-ku dengan senyum dan lirikan nakal sekaligus jahat, kemudian ia meneruskan langkahnya menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai 2.
   Aku menyandarkan diri ke sofa sambil menghela nafas. Seperti menyia-nyiakan kesempatan yang diinginkan oleh semua pria di seluruh kabupaten Ciamis.
   Pantas saja Om Iqbal langsung bertekuk lutut di bawah kaki Muti. Entah saat itu Om Iqbal sudah memilki istri atau belum, aku lupa menanyakan. Yang jelas, kalaupun Om Iqbal sudah memiliki keluarga saat bertemu Muti, sudah pasti diceraikan istri tuanya dengan godaan maut dari Muti.
   Apalagi melihat seringnya mimik muka, suara dan kelakuannya yang tiba-tiba berubah dari lembut menjadi agresif, Aku menjadi bertanya-tanya.
   Aku jadi penasaran, jangan-jangan si Muti seorang psikopat?
Suara-suara besi dipukul-pukul terdengar samar-samar.

Beranda

Blogger Template by Blogcrowds.