Novel Zombie Indonesia


4

ORANG HILANG

   Aku menuang air putih dari botolnya, Kemudian meminum air putih dari gelas kaca berukuran sedang itu. Segar, air di desa ini sangat segar.

   "Jadi begitu Kang Toyib." Kata Muti menanggapi ceritaku.

   "Iya, begitulah permintaan keluarga besar." jawabku.

   "Aku tidak keberatan, karena aku ini juga pihak ketiga. Maksudku apapun yang keluarga besar putuskan mengenai bagian yang memang untuk suamiku, ya terserah saja berapapun yang bisa diberikan. Kalaupun tidak ya tidak masalah juga, karena suamiku sudah meninggal" ucap Muti bijaksana.

   "Aku juga tidak akan mempermasalahkan hasil penjualan tanah warisan kelak." Lanjutnya.

   Aku menaruh gelasku setelah dua gelas air putih kuhabiskan. Selain haus aku memang tidak minum air selain air putih. Apalagi air segar seperti ini; Langka.

   "Dan satu lagi jangan libatkan aku untuk urusan keluarga kalian. Sampai sini, cukup tahu saja." Ujar Muti tegas.

   "Saya jamin Tante..eh" aku kagok lagi.

   "Teteh.” kata Muti sambil tersenyum. Tampaknya Muti sebenarnya ingin ketawa melihat aku kikuk.

   "Assalamalaikum."Sebuah suara disertai ketukan pintu menyela pembicaraan kami.

   Aku dan Muti menengok ke pintu depan yang memang tidak di tutup. Tampak Hansip Muda yang sekilas tadi kulihat di Balai desa berdiri di depan pintu. Dibelakang hansip itu terlihat polisi tambun.

   "Alaikumsalam." Muti menjawab sambil bangkit dari kursinya. "Ada apa Kang Rizky?" Muti berjalan menghampiri pintu.

   "Sore Neng Muti. Ini ada tamu mau bertanya dengan Neng." suara yang kukenal menyahut. Ternyata adalah Ijal.

   "Ayo masuk dulu!" Muti mempersilahkan.

   Rombongan tersebut masuk selain hansip dan polisi tambun itu tampak pula Ijal, juga wanita berambut pendek yang mengikuti di belakang mereka bertiga. Mata wanita berambut pendek itu langsung melihat ke arahku dengan pandangan tajam dan menyelidik begitu memasuki ruang tamu.

   Aku segera mengalihkan pandanganku dari tatapan wanita itu, kepada Muti yang berhadapan dengan Kang Ijal.

   "Ini Pak Indra dan Bu Tika dari kepolisian Ciamis, ingin bertanya." kang Ijal menjelaskan memperkenalkan polisi tambun dan wanita berambut pendek itu.

   Polisi? Jangan-jangan polwan berpakaian preman yang menatapku tajam sejak dari balai desa itu curiga. Mungkin tampangku mirip penjahat atau teroris yang sedang mereka cari? Aku tiba-tiba merasa cemas. Sebenarnya aku tidak pernah melakukan kejahatan, jadi kenapa cemas. Tapi malas saja jika harus menghadapi interogasi polisi terhadap tuduhan kejahatan yang tidak pernah kulakukan.

   "Mengenai keponakanku ini?" Tanya Muti menunjuk Aku.

   "Bukan, kami ingin bertanya sedikit kepada Ibu." kata Indra menjawab.

Aku sedikit lega.

   "Oh, kalau begitu silahkan duduk dulu. Kenalkan, ini Toyib keponakan saya yang baru datang dari Jakarta." Muti mempersilahkan mereka duduk.

   "Mau minum apa?"  Kata Muti sambil berjalan mengambil duduk di bangku dekat rak buku.

   "Tidak usah repot Bu. Kami tidak lama kok." Indra berkata.

   Polisi bernama Indra menyalamiku, sambil mengambil duduk di sofa panjang di sampingku. Perempuan berambut pendek tadi juga menyalamiku.

   "Tika." kata wanita berambut pendek itu padaku, sorot matanya yang tajam menusuk ke kedua mataku yang membuat kontak mata.

   Wanita bernama Tika itu mengenakan jaket coklat muda, dipadu dengan kaos putih berkerah di dalamnya dan celana jeans hitam. Walaupun wajah wanita itu minus tanpa make up, tapi tidak menghilangkan kecantikan alami yang terpancar dari wajahnya.

   "Toyib." kataku. Kemudian ia duduk di bangku sebelah kiri kami, duduk menghadap Muti.

   Kang Ijal duduk di bangku dihadapan aku. Hansip bernama Rizky berdiri tegap dengan wajah agak mendongak dan sikap istirahat yang dibuat-buat.

   "Tadi kang Toyib ini ke Balai Desa sebelum kesini. Tadi kita sudah bertemu." kata Ijal sambil tersenyum kepadaku menjelaskan kepada Muti.

   Muti mengangguk sambil tersenyum. Senyum maut yang mungkin membuat semua lelaki di ruangan ini tersihir; Terpana.

   "La..langsung saja saya jelaskan." kata Indra sedikit tergagap.

   Pasti polisi ini juga terpana melihat kecantikan paras tanteku ini. Apalagi mata hansip bernama Rizky yang tidak henti-hentinya mengarah mencuri pandang ke tanteku ini. Aku yakin, si hansip ini kalau disuruh jalan merangkak dari Ciamis sampai Jakarta oleh Muti pasti bakal menurut, seperti kerbau dicucuk hidung.

   "Kami mencari pria bernama Anton Darmawan. Sudah sebulan lalu, dia dilaporkan hilang. Bu Tika ini adalah kakak Anton. Kami ada fotonya, mungkin Ibu mengenalinya." Indra menjelaskan, kemudian menengok ke polwan bernama Tika itu.

   Tika mengeluarkan handphone dari kantong di balik jaketnya. Menunjukkan foto di handphone itu kepada Muti. Sambil menunjukkan foto, kulihat mata Tika sedikit melirik dengan tajam kepadaku dan kembali memperhatikan Muti.

   Muti bangkit sedikit, memperhatikan foto itu, kemudian kembali duduk bersandar.

   "Iya aku kenal dia namanya Anton, tapi nama lengkapnya aku baru tahu dari pak Indra. Sebulan lalu, dia mengantarkan aku pulang naik motornya sehabis pertunjukan, karena darah rendahku kumat." Kata Muti.

   "Kemudian setelah itu." Tika bertanya sambil menatap tajam wajah Muti.

   "Dia langsung pulang." Muti menjawab.

   "Tidak menginap di sini,kan?" tanya Tika penuh selidik.

   "Saya memang penari ronggeng, yang sering dianggap orang cewek murahan. Tapi saya bukan wanita gila yang mengajak orang yang baru saja saya kenal untuk mampir ke rumah subuh-subuh. Bisa saja saya dirampok atau dibunuh." tiba-tiba tanteku menjawab dengan nada ketus.

  "Jadi kapan dia kesini lagi setelahnya?" Tika menyelidik.

  "Maksudnya apakah dia kesini lagi setelah hari itu?" Indra menyela menambahkan.

   "Hanya sekali kami bertemu waktu itu. Dia tidak pernah kembali. Menghubungi saja tidak. Kupikir, Ia kembali ke Jakarta." Muti menjawab pertanyaan mereka berdua.

   "Jadi kamu tahu dia dari Jakarta?" Sikap Tika penuh curiga.

  "Tentu, kami sempat mengobrol lama di hajatan. Dia menemaniku waktu istirahat, karena waktu itu aku hampir jatuh karena darah rendahku kumat. Dia juga sempat cerita tentang istri dan anaknya." jawab Muti.

   "Apa merk sepeda motornya?" Indra bertanya kepada Muti.

   "Saya kurang tahu merk kendaraan, kayaknya mirip seperti punya pak Ijal." Kata Muti menengok ke Ijal.

   "Honda merk motor saya, Pak." Kata Ijal kepada Indra. "Kenapa dengan motornya?"

   "Dugaan kami kemungkinan Anton ini menjadi korban begal sadis yang akhir-akhir ini beroperasi di wilayah ini." Indra menjelaskan. "Ya biasanya motor jenis itu yang diambil. Dalam bulan ini sudah ada 2 orang hilang di jam yang sama di sekitar Ciamis."

   "Apakah kamu merokok, Mas Toyib?" tiba-tiba Tika bertanya kepadaku.

   "Tidak. Kenapa?" aku menjawab heran.

   "Itu rokok siapa?" Tika menunjuk kotak rokok berwarna merah yang tergeletak rapih di meja, yang dari tadi memang tergeletak disitu.

   "Mirip dengan rokok kesukaan adik saya. Saya duga dari bentuk bibir, anda tidak merokok kan Bu Muti?" Tika menduga.

   Tika ini memang perempuan yang jeli sekali, tapi yang membuatku tidak nyaman karena perempuan ini sering sekali melirik kearahku dengan matanya yang tajam itu.

   "Tiga hari lalu temanku datang kesini menengok aku yang baru sembuh dari sakit. Itu rokoknya ketinggalan karena pulang terburu-buru, di warung juga banyak rokok begitu." ucapan Muti mulai agak ketus.

   "Laki-laki?" Tanya Tika.

   "Suami-Istri. Kenapa memang kalau hanya laki-laki?" Muti menjawab ketus. Tampaknya tanteku mulai kesal.

   "Begini, aku tegaskan lagi kalau Anton hanya mengantarku sebulan lalu. Sejak hari itu dia tidak pernah menghubungiku ataupun datang lagi kesini. Mungkin pak Indra benar kalau dia menjadi korban begal motor. Aku prihatin kalau ternyata begitu kejadiannya, padahal dia orang baik dan ramah." Kata Muti, wajahnya serius. Senyumnya tidak menghiasi wajahnya seperti tadi.

   "Bagaimana kamu tahu kalau Anton baik dan ramah. Berarti kamu sebenarnya mengenal dia cukup dekat, kan?" Tika berkata dengan nada agak emosi sambil menatap tajam Muti.

   Muti diam, matanya membalas tatapan tajam mata Tika. Keduanya bertatapan dengan wajah tegang.
Kami semua mendadak hening memperhatikan kedua wanita itu.

   "Begini kita jadi tahu kalau korban dari sini malam itu." Indra mencoba menengahi suasana yang mulai tegang antara kedua wanita itu. "Jadi kemungkinan adalah korban bertemu dengan begal di tengah jalan, diantara daerah sini sampai kabupaten."

Kami terdiam mendengar penjelasan Indra.

   "Jadi jika kemungkinan korban dibunuh begal, maka jasadnya mungkin ada di sekitar hutan di daerah ini." Indra menambahkan.

   Tika menyandarkan tubuhnya di kursinya. Dari raut wajahnya tampak antara tidak puas, atau masih penasaran dan dipenuhi emosi, tampaknya dia sedang berpikir.

   Ia melirikku sejenak, kemudian mengalihkan pandangan ke Muti yang bersandar di kursi dan matanya berkeliling sekitar ruangan. Tika kemudian mengusap-usap keningnya.

   "Besok, kita lanjutkan penyelidikan ini. Kita bawa anggota dan anjing pelacak untuk menelusuri hutan yang ada di antara kecamatan ini dan Ciamis." Kata Indra. Indra menengok ke arah Muti dan Ijal.

   "Jadi sudah jelas keterangannya, kami mohon pamit. Sudah hampir maghrib. Terima kasih Bu Muti dan Pak Ijal atas bantuannya." Indra melanjutkan.

   Nada bicara polisi gemuk itu sopan khas orang sunda. Polisi itu menyalami Muti dan kang Ijal. Mereka pun berdiri membalas salam polisi itu.

   Tika melihat ke arahku sejenak. Ia bangkit dari kursinya; menyalami Aku, Muti dan Ijal. Kemudian Ia ngeloyor keluar tanpa banyak bicara lagi.

   "Pak Indra, ke kota ya?" tanyaku kepada polisi itu. "Bisa bareng nggak?"

   "Boleh kalau mau bareng, Kang." jawab polisi itu.

   "Kamu menginap di sini saja. Besok pagi saja pulangnya." Muti berkata kepadaku.

   "Enak banget tuh." Rizky si hansip menyela dengan suara kencang. Dia langsung di pukul punggungnya oleh kang Ijal.

   "Aku masih ingin dengar cerita tentang keluarga suamiku. Hanya sekedar ingin tahu saja, karena tidak pernah bertemu." Muti memegang pundakku lembut dari belakang.

   "Gimana kang Toyib, mau nginep atau ikut aku?" Indra tersenyum.
Aku masih penasaran dan mungkin bisa mencari tahu mengenai soal kehidupan pamanku disini.

   "Ya sudah, aku menginap saja." kataku kepada pak Indra.

  "Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu. Terima kasih." Indra menganggukkan kepala kepadaku dan kepada Muti.

   "Saya juga permisi Bu Muti, terima kasih. Kalau butuh bantuan saya ada di balai desa." Kata Ijal sambil tersenyum penuh arti kepada Muti.

   Jangan-jangan orang-orang balai desa ini memang fans berat tanteku ini. Wajarlah.

   "Mangga, kang Toyib."

   "Iya terima kasih, Pak Ijal." Kataku.

   Kulihat Rizky menghampiri tanteku, menyalami sambil mencium tangan wanita itu. Kang Ijal langsung menarik hansip gemuk itu, supaya tidak lama-lama mencium tangan wanita itu. Muti hanya tersenyum melihat tingkah Ijal dan hansip itu.

   Kami mengantarkan rombongan itu berjalan menuju ke mobilnya yang terletak di depan pintu pagar.

   Tika sudah duduk didalam mobil, wajahnya tampak ekspresi dingin. Tika sempat melirik tajam dan menyunggingkan sedikit senyum kepadaku ketika mobil mereka hendak melaju meninggalkan kami. Entah apa artinya maksud senyum dan lirikan tajamnya itu, jangan-jangan ia memang curiga padaku.

   "Ayo masuk dulu! Kamu pasti belum mandi. Teteh, siapkan handuk ya. Nanti kamu tidur di kamar tamu saja." Muti berkata kepadaku. Kemudian, ia membalikkan badan memasuki pagar halaman. Aku mengikutinya memasuki halaman, kemudian menutup pagar rumah.

Beranda

Blogger Template by Blogcrowds.